Lebih Pilih Harga Murah, Konsumen Abaikan Bahaya BPA pada Galon Guna Ulang
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei dan investigasi lapangan Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) mengungkap sebuah paradoks dalam perilaku konsumen Indonesia terkait penggunaan galon air minum dalam kemasan guna ulang. Meskipun...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei dan investigasi lapangan Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) mengungkap sebuah paradoks dalam perilaku konsumen Indonesia terkait penggunaan air minum dalam kemasan guna ulang. Meskipun 60,8 persen konsumen mengetahui adanya risiko kesehatan dari paparan Bisphenol-A (BPA) pada galon guna ulang, sebagian besar dari mereka tetap memilih untuk menggunakan produk tersebut karena alasan harga lebih murah.
BPA, senyawa kimia yang sering ditemukan dalam galon dengan bahan polikarbonat, telah lama menjadi perhatian di kalangan ahli kesehatan. Paparan dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan, termasuk gangguan hormon, masalah reproduksi, dan bahkan risiko kanker. Meskipun risikonya telah banyak dibahas, hasil survei KKI menunjukkan bahwa kesadaran konsumen akan bahaya BPA masih terbatas. Hanya 60,8 persen responden yang mengetahui risiko tersebut, sementara sisanya tidak menyadarinya.
Menurut David Tobing, Ketua KKI, salah satu faktor utama yang mendorong paradoks ini adalah budaya konsumen Indonesia yang cenderung mengabaikan informasi pada kemasan produk. “Dari 495 responden yang kami survei, 83 persen mengaku tidak memperhatikan informasi tentang usia pakai galon guna ulang, padahal kemasan galon polikarbonat yang digunakan berulang kali tanpa ada aturan batas pakai berpotensi melepaskan BPA,” ujarnya dalam konferensi pers paparan hasil survei dan investigasi KKI yang digelar di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
David menambahkan, meskipun konsumen tahu adanya risiko BPA, mereka tetap memilih karena alasan ekonomis. “Sebanyak 91,9 persen responden memilih galon guna ulang karena harganya lebih murah. Mereka lebih memprioritaskan harga ketimbang risiko kesehatan,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsumen memiliki akses terhadap informasi kesehatan, mereka cenderung mengabaikannya jika dihadapkan pada pilihan yang lebih murah. Fenomena ini juga mencerminkan rendahnya kesadaran akan pentingnya hak atas produk yang sehat dan aman.
Oleh karena itu, David menekankan bahwa edukasi kepada konsumen juga menjadi kunci penting dalam mengubah perilaku konsumsi. “Konsumen perlu diedukasi agar lebih kritis dalam memilih produk yang sehat dan aman,” ujarnya.
Selain itu, KKI juga mengkritisi lambannya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam menerapkan aturan pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang. Meskipun BPOM telah mengeluarkan regulasi yang mewajibkan pelabelan BPA pada kemasan galon polikarbonat dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024, tenggat waktu yang diberikan dinilai terlalu lama, yaitu 4 tahun.
“Setelah mengetahui adanya aturan itu, 96 persen responden kami menyatakan bahwa pelabelan BPA harus dipercepat, tidak perlu menunggu 4 tahun. Hak konsumen atas informasi harus diprioritaskan,” tegas David.