Penerbitan Sukuk ESG Diperkirakan Meningkat pada 2025

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerbitan sukuk berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) diperkirakan akan terus berkembang tahun ini, seiring dengan instrumen pasar modal ini semakin menjadi alat pendanaan utama di...

Penerbitan Sukuk ESG Diperkirakan Meningkat pada 2025

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerbitan berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) diperkirakan akan terus berkembang tahun ini, seiring dengan instrumen pasar modal ini semakin menjadi alat pendanaan utama di pasar keuangan Islam. Menurut Fitch Ratings, penerbitan global diprediksi mencapai 50 miliar dolar AS atau sekitar Rp 775 triliun pada 2025, naik dari 45,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 701,6 triliun pada 2024.

Penerbitan sukuk ESG tahun lalu tercatat 23 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, mengungguli ESG yang tumbuh 16 persen secara tahunan. Beberapa negara yang menjadi pendorong utama adalah Arab Saudi, UEA, Indonesia, Malaysia, dan negara berkembang lainnya yang berfokus pada diversifikasi, pencapaian net-zero, dan upaya keberlanjutan.

“Sukuk kini menjadi alat pendanaan ESG utama di pasar negara berkembang, dengan proyeksi pertumbuhan yang kuat di tengah inisiatif keberlanjutan, kebutuhan pendanaan, dan kondisi pendanaan yang menguntungkan,” ujar Kepala Global Islamic Finance di Fitch, Bashar Al Natoor, dikutip dari Zawya, Rabu (29/1/2025).

Di kawasan GCC (Dewan Kerjasama Teluk), sukuk menyumbang bagian besar sekitar 44 persen dari pasar modal utang ESG yang mencapai 46,3 miliar dolar AS atau Rp 718,3 triliun pada tahun lalu. Nasdaq Dubai muncul sebagai tempat pencatatan sukuk ESG terbesar pada akhir tahun lalu, dengan memegang lebih dari sepertiga atau 35 persen dari total volume sukuk global yang beredar. Selain itu, Bahrain diperkirakan akan menerbitkan obligasi internasional termasuk sukuk sebesar 2-3 miliar dolar AS pada tahun 2025, setelah sebelumnya menerbitkan sukuk sebesar 1 miliar dolar AS oleh Bapco Energies awal bulan ini.

Namun, pengetatan tajam kondisi likuiditas global, ditambah dengan penurunan harga minyak yang signifikan, dapat menjadi tantangan besar bagi kerajaan untuk menerbitkan sukuk. Penerbitan sukuk ESG diharapkan dapat terus menjadi pilihan utama bagi pendanaan yang mendukung keberlanjutan, dengan prospek pertumbuhannya yang positif di pasar global.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga menekankan pentingnya mengembangkan pasar keuangan syariah, khususnya melalui inovasi produk seperti Sukuk Hijau (Green Sukuk) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Menurutnya, Indonesia sebagai salah satu penerbit sukuk terbesar di dunia, telah menginisiasi penerbitan Sukuk Hijau yang dapat menunjang ekosistem perekonomian dan keuangan hijau.

“Sukuk Hijau ini dirancang untuk mendukung komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim, termasuk di dalamnya risiko transisi menuju ekonomi berkelanjutan,” jelas Perry beberapa waktu lalu.

Berdasarkan Laporan Pengembangan Keuangan Islam 2023, nilai Sukuk Hijau dan ESG yang beredar pada 2022 mencapai 24,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp378,2 triliun. Malaysia dan Arab Saudi menjadi pemimpin pasar Sukuk ESG, diikuti oleh Indonesia dan UEA. Perry menambahkan, penerbitan Sukuk Hijau tidak hanya mampu mengumpulkan dana dari masyarakat dan investor, tetapi juga sejalan dengan ketentuan syariah Islam, karena tidak mengandung unsur riba, gharar, atau maysir.