100 hari KMP, alih ekspor crude dinilai antisipasi situasi geopolitik

Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelang 100 hari Kabinet Merah Putih ...

100 hari KMP, alih ekspor crude dinilai antisipasi situasi geopolitik
Artinya, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap ketidakpastian harga impor, sebab adanya ketidakpastian geopolitik.

Jakarta (ANTARA) - Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelang 100 hari Kabinet Merah Putih (KMP), yang akan mengalihkan ekspor minyak mentah untuk diproses di kilang dalam negeri, dinilai dapat mengurangi ketergantungan terhadap ketidakpastian geopolitik.

“Artinya, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap ketidakpastian harga impor, sebab adanya ketidakpastian geopolitik,” ujar Ekonom Energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Yayan menyoroti Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin menurunkan harga minyak hingga 74 dolar AS per barel. Keinginan tersebut, kata dia lagi, menimbulkan kekhawatiran soal harga jual minyak mentah (crude) dalam negeri yang diekspor ke negara lain.

“Daripada dijual harga murah, lebih baik digunakan sendiri, seiring dengan produksi lifting minyak mentah Indonesia yang semakin turun dan menua,” ujar Yayan.

Tetapi, Yayan menyarankan kepada pemerintah untuk menghitung ulang dampak dari penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) apabila Indonesia berhenti mengekspor minyak mentah.

Yayan menyampaikan, selama ini kemampuan suplai minyak mentah Indonesia hanya 40 persen, dan 60 persen sisanya berasal dari impor.

Sementara itu, kata dia pula, Indonesia bisa memperoleh PNBP sebesar 10-15 persen untuk devisa negara yang berasal dari selisih penjualan minyak.

“Andaikan itu mau digeser ke domestik, hitung-hitungannya jadi rugi secara trade economics,” ujarnya lagi.

Menurut Yayan, penerapan kebijakan alih ekspor harus dilakukan secara bertahap. Selain melihat bagaimana pengaruh kebijakan tersebut kepada pendapatan negara, pemerintah juga harus mempertimbangkan apa pengaruhnya terhadap stabilisasi harga BBM di Indonesia dan kesiapan kilang dalam negeri.

“Kebijakan ini tidak mudah, karena harus didukung dengan infrastruktur kilang yang khusus untuk minyak Indonesia yang rendah sulfur,” kata Yayan.

Selama ini, kata dia, kilang minyak di Indonesia dikhususkan untuk minyak Timur Tengah. Oleh karena itu, pengembangan infrastruktur kilang harus menyertai penerapan kebijakan alih ekspor.

“Jadi, idealnya, Pertamina saat ini segera menunaikan due diligence-nya, menyelesaikan proyek Refinery Development dan menghitung kembali kebutuhan switching tersebut dengan efisien,” kata Yayan.

Pada Senin (27/1), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pemerintah akan mengalihkan seluruh minyak mentah yang sebelumnya direncanakan untuk diekspor, menjadi diproses oleh kilang di dalam negeri guna meningkatkan produksi BBM nasional.

Selain itu, minyak mentah bagian kontraktor yang tidak sesuai spesifikasi, juga diminta untuk diolah dan dicampur, sehingga memenuhi standar yang diperlukan untuk konsumsi kilang domestik.

Kebijakan tersebut, kata Bahlil, menjadi langkah penting dalam mempercepat tercapainya tujuan swasembada energi. Menurut Bahlil, kebijakan tersebut juga menunjukkan komitmen kuat pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kemandirian energi nasional.

Ke depannya, ekspor minyak mentah akan dioptimalkan, agar semaksimal mungkin dimanfaatkan oleh kilang minyak dalam negeri.

Baca juga:

Baca juga:

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025