Bunuh Diri Ekologi melalui Konsesi Tambang untuk Perguruan Tinggi

UU Mineral dan Batubara (Minerba) tiba-tiba saja direvisi. Alih-alih memasukan prespektif keadilan ekologi dan sosial dalam revisi UU itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru mengusulkan agar perguruan tinggi...

Bunuh Diri Ekologi melalui Konsesi Tambang untuk Perguruan Tinggi
Image Firdaus Cahyadi Humaniora | 2025-01-28 13:46:23

UU Mineral dan Batubara (Minerba) tiba-tiba saja direvisi. Alih-alih memasukan prespektif keadilan ekologi dan sosial dalam revisi UU itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru mengusulkan agar perguruan tinggi juga diberikan hak pengelolaan tambang. Upaya ini jelas-jelas merupakan tindakan bunuh diri ekologi yang diperlihatkan secara telanjang.

Firdaus Cahyadi, Mahasiswa Pascasarjana, Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, IPB University

Padahal di luar ruangan rapat para anggota DPR itu, dunia sedang mengalami krisis iklim. Mata dan telingga para wakil rakyat itu seakan tertutup sehingga tidak bisa menerima berita tentang berbagai bencana ekologi yang terjadi akibat krisis iklim.

Bencana iklim semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di tahun 2024 misalnya, terjadi panas ekstrem menyengat selama ibadah Haji. Panas ekstrem di musim haji itu dikabarkan telah menewaskan lebih dari 1.300 jiwa. Suhu di Arab Saudi, pada saat itu sempat mencapai 51,8 derajat celsius

Bukan hanya di Arab Saudi, panas ekstrem juga melanda Yunani. Di Yunani gelombang panas juga telah memicu kebakaran hutan yang mengerikan. Panas ekstrem yang mematikan juga menerjang sejumlah negara seperti Thailand, India, dan Amerika Serikat (AS).

Sementara itu, laporan WMO (World Meteorological Organization) yang berjudul, State of the Climate in Asia 2023, mengungkapkan bahwa kecenderungan kenaikan pemanasan di Asia telah meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1961-1990.

Laporan itu diperkuat oleh Emergency Events Database, yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, di kawasan Asia telah terjadi 79 bencana iklim. Bencana iklim di Asia itu telah menyebabkan lebih dari 2.000 korban jiwa.

Berbagai bencana iklim yang terjadi di Asia itu juga dirasakan Indonesia. Laporan dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), yang berjudul Data Bencana Indonesia 2023, mengungkapkan bahwa bencana yang terjadi pada tahun 2023 didominasi oleh kejadian hidrometeorologi akibat krisis iklim dengan 5.365 kejadian. Ini artinya, bencana yang terjadi di Indonesia selama 2023 didominasi oleh bencana yang diakibatkan krisis iklim.

Krisis iklim akan semakin parah bila gas rumah kaca (GRK) terus dibiarkan mencemari atmosfir. Emisi GRK dari energi fosil, khususnya batubara, menjadi penyebab utama peningkatan emisi GRK di atmosfir. Terkait dengan itulah muncul desakan dari masyarakat internasional kepada pemimpun negara-negara di seluruh dunia untuk segera meninggalkan energi fosil ke energi terbarukan.

Transisi energi ini bukan hanya sekedar perpindahan penggunaan energi dari fosil ke energi terbarukan, namun juga membawa konsekuensi untuk meninggalkan model pembangunan ekstraktif.

Sayangnya, Indonesia justru berjalan ke arah yang berlawanan dari kencenderungan di tingkat global itu. Indonesia justru sedang melakukan bunuh diri ekologi dengan semakin memperkuat model pembangunan ekonomi ekstraktif.

Upaya memperkuat model pembangunan ekstraktif itu telah dimulai di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan membagi-bagi konsesi tambang batubara ke ormas agama. Seperti diberitakan di berbagai media massa, elite di PP Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) menerima tawaran pemerintah untuk mengelola izin tambang. Mereka sama sekali tidak mempedulikan suara publik, termasuk suara kaum muda di dalam organisasinya yang menolak tawaran pemerintah yang menyesatkan itu.

Rejim Jokowi sudah berhakhir, alih-alih mengoreksi kebijakan bagi-bagi konsesi tambang batubara ke ormas, elite politik justru mengusulkan perguruan tinggi juga diberikan konsesi batubara. Sebuah usulan yang menyesatkan dari elite politik yang digaji dari uang pajak publik.

Pertanyaan berikutnya adalah apa dampaknya bila perguruan tinggi menerima konsesi tambang batubara? Dengan menerima konsesi tambang, perguruan tinggi dengan sendirinya telah masuk sebagai pemain bisnis di sektor itu. Konsekuensinya, perguruan tinggi, dengan legitimasi ilmiahnya, akan menghalangi pemerintah untuk memperkuat komitmen terhadap keadilan ekologi dan sosial. Kuatnya komitmen pemerintah itu akan mengancam bisnis tambang mereka.

Konsekuensi berikutnya, perguruan tinggi dengan label ilmiahnya akan menjadi pembenar segala bentuk kerusakan akibat tambang. Perguruan tinggi akan mereproduksi dalil-dalil, yang terkesan ilmiah, untuk membenarkan penggusuran lahan-lahan warga untuk tambang.

Perguruan tinggi juga akan mereproduksi dalil-dalil, yang terkesan ilmiah, untuk memaklumi terjadinya polusi udara, air dan tanah di sekitar wilayah operasional tambang. Dengan berbagai dalil ilmiah itulah segala aktivitas pertambangan yang merusak tetap bisa dilanjutkan.

Bila konsesi tambang untuk ormas agama bisa digunakan untuk membungkam para penolak tambang dengan label komunis, atheis, penista agama maka perguruan tinggi bisa melakukan hal yang sama dengan dalih-dalih yang seolah ilmiah. Konsekuensinya, bukan hanya keruskaan alam yang semakin tak terkendali, namun juga konflik sosial.

Bagaimana jika gagasan DPR itu kemudian disetujui oleh pemerintah? Jika gagasan untuk memberikan konsesi tambang ke perguruan tinggi disetujui pemerintah, maka Prabowo Subianto sedang membawa negeri ini ke arah bunuh diri ekologi. Bagaimana tidak, sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto sendiri secara terang-terangnan telah mengajak para pemerintah daerah untuk terus melakukan ekspansi sawit tanpa takut deforestasi. Tak berselang lama, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan bahwa Pemerintahan Prabowo Subianto akan membuka lahan hutan hampir 2 kali lipat Pulau Jawa untuk sumber ketahanan pangan dan energi.

Tanda-tanda bunuh diri ekologi semakin nyata. Publik tidak bisa menunggu niat baik dari elite di perguruan tinggi untuk menolak tawaran konsesi tambang. Di terimanya konsesi tambang oleh ormas Islam, NU dan Muhammadiyah harus menjadi pelajaran. Saat itu, publik ternyata harus menelan pil pahit karena ternyata elite di kedua organsiasi keagamaan itu tidak peduli dengan keselamatan manusia dan alam.

Ketidakpedulian terhadap keselamatan manusia dan alam sangat mungkin juga dimiliki oleh elite perguruan tinggi. Jika ada tawaran konsesi tambang dari pemerintah, sangat mungkin elite di perguruan tinggi juga akan menerimanya. Dalih mereka akan sama dengan NU dan Muhammadiyah yang telah lebih dahulu menerima konsesi tambang. Mereka berdalih akan mewujudkan green mining (tambang hijau) yang ramah lingkungan hidup. Padahal green mining tak lebih hanya sebagai upaya memanipulasi publik atau greenwashing saja.

Perguruan tinggi sebagai benteng kekuatan moral tidak boleh digadaikan hanya untuk kepentingan ekonomi jangka pendek yang membahayakan keselamatan manusia dan alam. Untuk itu, publik tidak boleh tinggal diam melihat realitas ini semua. Publik harus bersuara agar upaya untuk bunuh diri ekologi segera dihentikan. Bila publik diam, cepat atau lambat, publik sendiri yang akan menjadi korbannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.