Rocky Gerung Soroti Isu Strategis Pemerintahan Prabowo, Singgung Soal Polemik Pagar Laut
Menurut Rocky, masih terlihat adanya keinginan dari kelompok tertentu mempertahankan pengaruh pemerintahan Presiden Jokowi dalam kabinet saat ini.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis dan pengamat politik, menilai saat ini terdapat 2 kepentingan dalam pemerintahan .
Hal ini dikatakan soal 100 kerja Pemerintahan Prabowo
dalam diskusi Kaukus Nusantara Bersatu bertemakan "Arah
Indonesia ke Depan" di Jakarta pada Kamis (23/1/2025) lalu.
Menurut Rocky, masih terlihat adanya keinginan dari kelompok
tertentu mempertahankan pengaruh pemerintahan Presiden Jokowi
dalam kabinet saat ini.
Baca juga:
"Saat ini kita bisa lihat, ada dua kepentingan yang berjalan
dalam pemerintahan Prabowo. Satu sisi ada keinginan untuk
melanjutkan kekuasaan lama, tapi di sisi lain ada yang ingin
bersikap populis sesuai dengan keinginan publik," ucap Rocky.
Selain itu, Rocky yang juga merupakan akademisi ini menyebut
hingga kini arah dan paradigma dalam kabinet juga masih belum jelas khususnya
dalam pengambilan kebijakan.
"Donald Trump begitu diambil sumpah langsung mengumumkan
paradigma pemerintahannya. Sementara di Indonesia, hingga saat
ini kita belum mendapatkan gambaran yang jelas, ke mana arah
pemerintahan ini akan dibawa," kata Rocky.
Rocky pun mencontohkan soal polemik di Tangerang. Menurutnya, hal itu jelas memperlihatkan
kurangnya koordinasi antar-instansi pemerintah.
"Kasus di Tangerang memperlihatkan tidak
adanya koordinasi yang jelas di kabinet. Instruksi untuk
membongkarnya memang sudah diberikan oleh Presiden dengan
melibatkan TNI AL, tetapi hingga kini belum jelas siapa yang
bertanggung jawab dan siapa yang harus dihukum," paparnya.
Rocky juga menyoroti persoalan proyek reklamasi di Pantai Indah
Kapuk (PIK) 2 yang menurutnya memiliki potensi menimbulkan
konflik sosial berbasis etnis dan ras.
Baca juga:
Ia mengkritik lambatnya penanganan kasus tersebut dan menilai
bahwa pemerintah terkesan 'mencicil' penyelesaiannya tanpa
adanya langkah konkret yang diumumkan kepada publik.
"Publik menunggu kepastian, ingin tahu siapa pejabat yang harus
bertanggung jawab, tapi sejauh ini tidak ada ketegasan,"
tegasnya.
Di sisi lain, Rocky juga menyoroti keputusan Indonesia untuk
bergabung dengan blok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India,
China, dan Afrika Selatan).
Menurutnya, langkah ini dapat menjadi pilihan strategis jika
bertujuan menjadikan Indonesia sebagai pemimpin, bukan sekadar
anggota pasif. Namun, ia mengingatkan bahwa keputusan tersebut
juga memiliki risiko besar.
"Bergabung dengan BRICS sebagai pilihan ideologis adalah hal
yang baik, tapi kita harus siap dengan konsekuensinya.
Indonesia bisa menghadapi sanksi dari negara-negara Barat
karena ekonomi kita masih sangat bergantung pada dolar,"
jelasnya.
Baca juga:
Ia menilai bahwa Prabowo ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah
pemimpin populis atau bahkan seorang sosialis dengan
keberaniannya mengambil risiko besar dalam kebijakan ekonomi
global. Namun, ia juga mengingatkan bahwa langkah tersebut
harus diiringi dengan strategi ekonomi yang jelas.
"Indonesia bisa saja ingin kembali menjadi pemimpin di ASEAN
seperti era Soeharto, tetapi untuk menjadi pemimpin global,
kita harus memiliki visi yang lebih kuat," tambahnya.
Rocky menilai, jika kebijakan bergabung dengan BRICS hanya
dilakukan atas dasar pragmatisme tanpa landasan strategis yang
kokoh, maka Indonesia berisiko mengalami ketidakpastian ekonomi
yang berkepanjangan.