Koalisi Masyarakat Sipil Minta 8 Poin Penting Masuk dalam Revisi KUHAP
Koalisi masyarakat sipil menyampaikan delapan poin rekomendasi untuk dimasukkan ke dalam revisi KUHAP. Rekomendasi dikirimkan lewat surat kepada Komisi III DPR RI.
![Koalisi Masyarakat Sipil Minta 8 Poin Penting Masuk dalam Revisi KUHAP](https://statik.tempo.co/data/2025/02/10/id_1376081/1376081_720.jpg)
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau meminta RI mempertimbangkan delapan poin untuk dimasukkan ke dalam revisi Rancangan Undang-Undang KUHAP.
Empat perwakilan organisasi masyarakat sipil yang tergabung
dalam koalisi tersebut menyampaikan surat terbuka kepada Komisi
III dan Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR hari ini,
Senin, 10 Februari 2025.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau Fadhil Alfathan mengatakan, koalisi
telah melakukan kajian terhadap RUU KUHAP. Beleid itu termasuk
ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
“Kami menilai KUHAP yang sudah diberlakukan sejak Desember 1981
sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman maupun
kebutuhan terkait dengan perkembangan sistem peradilan pidana,”
kata Fadhil kepada awak media di gedung parlemen, Jakarta
Pusat, Senin, 10 Februari 2025.
Ia menambahkan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP
Nasional akan berlaku mulai 2026 mendatang. Sedangkan KUHP
tidak akan berjalan secara operasional tanpa ketentuan yang
diatur di dalam KUHAP. “Sehingga kami menilai ada urgensi
pembaruan KUHAP,” ujar dia.
Koalisi itu lantas menilai implementasi hukum acara pidana saat
ini sudah berada dalam batas “mengkhawatirkan”. “Banyak sekali
pelanggaran hukum acara yang berdampak pada pelanggaran hak
asasi manusia, penyelewengan, dan penyalahgunaan kekuasaan,”
kata Fadhil.
Dari delapan poin rekomendasi untuk Komisi III, ada dua poin
yang ditekankan oleh koalisi tersebut. Pertama, KUHAP saat ini
belum memberikan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang
jelas dalam pelaksanaan upaya paksa. Kedua, kata Fadhil,
pengakuan terhadap korban belum diatur secara eksplisit di
dalam KUHAP.
Mengutip surat terbuka yang ditujukan kepada Komisi III,
kedelapan poin rekomendasi yang disampaikan oleh Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP adalah sebagai
berikut:
1. Perbaikan kerangka dasar sistem peradilan pidana dengan
menjadikan RUU KUHAP sebagai rekodifikasi hukum acara pidana
yang berpegang teguh pada prinsip due process of law
(proses hukum yang adil), mekanisme checks and
balances (saling kontrol), serta penghormatan pada hak
asasi manusia;
2. Memperjelas syarat-syarat objektif untuk dapat melakukan upaya paksa, memperkuat mekanisme checks and balances antar aparat penegak hukum saat proses pelaksanaan upaya paksa, serta membentuk mekanisme uji upaya paksa yang objektif ke pengadilan (judicial scrutiny), termasuk pemulihan dan ganti rugi kepada tersangka/terdakwa/terpidana ketika pelaksanaan upaya paksa dilakukan secara melawan hukum;
3. Penguatan hak tersangka, terdakwa, dan terpidana;
4. Pengaturan dan pengujian perolehan alat bukti;
5. Penyelarasan pengaturan tentang penyelesaian perkara di luar persidangan yang sekarang tersebar di berbagai peraturan internal lembaga penegak hukum, melalui mekanisme diversi dengan ruang lingkup tindak pidana dan syarat-syarat yang objektif, serta melibatkan penetapan diversi dari pengadilan (penguatan checks and balances);
6. Perbaikan pengaturan mengenai upaya hukum;
7. Memperkenalkan mekanisme keberatan atas tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang lebih efektif dari praperadilan; dan
8. Perbaikan pengaturan hak korban, terutama hak korban (pelapor) untuk mengajukan keberatan/komplain ketika laporannya tidak ditindaklanjuti, hak korban untuk memperoleh informasi dan dilibatkan secara aktif dalam peradilan pidana, serta hak korban untuk memperoleh ganti rugi dan pemuv lihan secara utuh atas kerugian yang dialami dari tindak pidana (restitusi, kompensasi, dan dana bantuan korban).
Pilihan Editor: