Menu MBG untuk Anak Berkebutuhan Khusus: Mungkinkah Inklusif?

Implementasi MBG di SLB menghadapi tantangan besar: penyesuaian menu untuk anak berkebutuhan khusus. Dengan kebutuhan gizi yang berbeda…

Menu MBG untuk Anak Berkebutuhan Khusus: Mungkinkah Inklusif?

Anak berkebutuhan khusus (ABK) sering kali menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan gizinya. Masalah ini tidak hanya berdampak pada kondisi fisik mereka, tetapi juga pada kesehatan mental. Sebagai contoh, konsumsi makanan yang tidak tepat dapat menyebabkan hiperaktivitas, tantrum, bahkan tindakan melukai diri sendiri.

Seperti Galih, siswa kelas 4 di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jakarta Barat. Ia adalah anak berkebutuhan khusus penyandang autisme. Kandungan gizi dari setiap makanan yang ia konsumsi jadi salah satu yang sangat diperhatikan sang ibu.

"Kalau dia mengonsumsi cokelat atau makanan mengandung terigu, langsung tantrum. Tantrumnya itu dia enggak mengganggu atau jahilin orang lain, tapi nyakitin diri sendiri. Jadi dia bakal nyakar atau menjedotkan kepalanya," ujar Euis, ibu Galih.

Sekolah Galih menjadi salah satu sekolah penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program andalan kabinet Prabowo-Gibran. Berbeda dengan sekolah umum, tantangan implementasi MBG di SLB terletak pada proses penyesuaian menu yang mencakup kebutuhan serta spesifikasi gizi yang tepat untuk ABK.

Pada hari pertama peluncuran program ini, 190 siswa berkebutuhan khusus di sekolah ini mendapat menu makanan berupa nasi, ayam teriyaki, tumis kacang panjang, tahu goreng tepung, dan susu kemasan. Sama dengan menu yang didapatkan anak-anak di sekolah umum.

Namun, kebutuhan gizi ABK jauh lebih kompleks dibandingkan anak pada umumnya. Kepala sekolah SLB tersebut mengungkapkan pentingnya komunikasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN). "Kami sampaikan bahwa beberapa anak autis di sini tidak boleh minum susu cokelat. Ada juga anak dengan down syndrome yang tidak boleh makan pisang karena bisa langsung masuk rumah sakit," ujarnya.

Pentingnya diet khusus untuk ABK

Kesalahan dalam pola makan dapat berdampak besar pada kondisi ABK. Seperti yang dijelaskan Ahli Gizi, dr. Tan Shot Yen, bahwa konsumsi gula berlebih dapat meningkatkan risiko hiperaktivitas pada anak-anak dengan ADHD.

Ia juga menuturkan, "anak autisme menunjukkan reaksi negatif terhadap makanan yang mengandung gluten atau kasein, seperti gangguan pencernaan dan perilaku agresif." Hal ini semakin menekankan pentingnya memahami kebutuhan gizi spesifik setiap ABK untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas.

Menurut para ahli, gula berlebih dapat memicu berbagai reaksi pada ABK, mulai dari peningkatan energi yang sulit dikendalikan hingga gangguan tidur. Efek negatif ini membuat banyak orang tua ABK harus waspada terhadap makanan yang disediakan, terutama di acara-acara sekolah.

"Kadang kami wanti-wanti setiap ada kegiatan. Kalau ada cokelat atau makanan manis lainnya, langsung kami larang anak-anak memakannya," jelas Euis.

Selain gula, beberapa ABK juga memiliki alergi atau intoleransi terhadap bahan makanan tertentu. Ahli gizi juga menyoroti sensitivitas ABK terhadap bahan tambahan dalam makanan, seperti kecap, bumbu penyedap, dan produk olahan lainnya.

Tantangan penerapan MBG di SLB

Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan program MBG adalah memastikan bahwa menu yang disediakan aman dan sesuai untuk semua siswa, termasuk ABK. Karena program ini berskala besar dan menyasar banyak sekolah, penyediaan menu massal sering kali menjadi kendala.

Salah satu tantangan utama adalah logistik, seperti distribusi bahan makanan segar ke daerah-daerah terpencil, yang membutuhkan waktu dan biaya tambahan. Selain itu, setiap sekolah harus memiliki fasilitas dapur yang memadai untuk mengolah menu dengan kualitas yang terjaga.

Kendala lain adalah biaya, karena pengadaan bahan makanan yang sesuai dengan kebutuhan khusus, seperti makanan bebas gluten atau susu tanpa laktosa, cenderung lebih mahal. Hal ini menambah beban anggaran pemerintah dan penyelenggara program, sehingga diperlukan strategi pengelolaan sumber daya yang lebih efisien untuk memastikan keberlanjutan program.