Pemerintah Punya Waktu 45 Hari untuk Pulangkan Buronan Kasus e-KTP Paulus Tannos

Pemerintah memiliki waktu hingga 3 Maret 2025 untuk mengurus proses ekstradisi Paulus Tannos dari Singapura.

Pemerintah Punya Waktu 45 Hari untuk Pulangkan Buronan Kasus e-KTP Paulus Tannos

Pemerintah punya waktu 45 hari untuk mengurus proses ekstradisi buronan kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin yang ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) pada 17 Januari lalu di Singapura.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan Paulus Tannos belum dipulangkan ke Indonesia karena proses hukum yang masih berlangsung di Singapura. Ia menyebut pemerintah memiliki waktu sampai 3 Maret 2025 untuk melengkapi dokumen pemulangan Paulus Tannos ke Indonesia.

"Tapi saya yakinkan bahwa ini tidak akan menunggu sampai dengan 3 Maret, ini bisa dalam waktu dekat," kata Supratman seusai konferensi pers di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Rabu (29/1).

Supratman enggan merinci detail agenda yang menyangkut diskusi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura. "Karena ini menyangkut soal strategi," ujarnya.

Supratman menjelaskan bahwa kedua negara sudah menyepakati perjanjian ekstradisi pada 2022 dan meratifikasinya setahun setelahnya. Politisi Partai Gerindra itu menyebut Pemerintah Singapura sangat kooperatif dalam menangani kasus Paulus Tannos. "Dengan permintaan oleh KPK, yang bersangkutan sekarang sudah ditahan," kata Supratman.

Dia melanjutkan proses ekstradisi tidak bisa dilakukan secara instan karena melibatkan beragam tahapan hukum dan administrasi antarnegara. Pada kesempatan itu, Supratman mengatakan Indonesia telah memulangkan 20 orang warga negara asing atas permintaan negara sahabat. Di sisi lain, Indonesia sejauh ini telah menarik empat orang warga negara Indonesia (WNI) yang tersangkut kasus hukum di luar negeri.

"Namanya ekstradisi itu tidak ada yang instan. Menurut saya pemerintah masih punya waktu, mudah-mudahan tidak sampai 3 Maret, bahkan jauh lebih sebentar," ujar Supratman.

Kementerian Hukum menegaskan bahwa Paulus Tannos masih berstatus WNI. Supratman menjelaskan bahwa identitas WNI Paulus Tannos tidak hilang kendati dia juga memiliki parpor negara Guinea-Bissau, Afrika Barat.

Supratman mengatakan Paulus Tannos pernah dua kali mengajukan pelepasan status WNI kepada Direktorat Jendral Administrasi Hukum dan Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum melalui sistem aplikasi daring.

Supratman melanjutkan bahwa Paulus Tanos belum menyelesaikan proses administratif dengan melengkapi dokumen yang diminta oleh Dirjen AHU. Karena dokumen yang dibutuhkan tidak pernah disampaikan, permohonan pelepasan status kewarganegaraan belum diproses atau disetujui.

“Sampai dengan hari ini dokumen yang diminta itu tidak pernah yang bersangkutan sampaikan. Itu artinya bahwa yang bersangkutan statusnya masih sebagai warga negara Indonesia,” kata Supratman.

Lebih jauh, Supratman mengatakan Paulus Tannos mengajukan proses pelepasan status WNI setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan terkait perkara korupsi e-KTP.

Dia juga menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah menjalin komunikasi dengan Pemerintah Guinea-Bissau ihwal kasus yang menyeret Paulus Tannos. “Prinsipnya Indonesia menganut sistem kewarganegaraan tunggal, satu kewarganegaraan,” ujarnya.

Paulus Tannos merupakan salah satu nama buronan yang dicari KPK sejak beberapa tahun lalu. Nama lainnya adalah Harun Masiku, Kirana Kotama, serta Ricku Ham Pagawak.

Ketua KPK pada 2023, Firli Bahuri sempat menjelaskan ada buron yang memanfaatkan celah hukum untuk menghindari penangkapan oleh petugas yakni Paulus Tannos. Menurutnya, Paulus mengubah nama resminya menjadi Tjhin Thian Po atau TTP saat akan ditangkap.

Sedangkan Kepala Kepolisian Listyo Sigit Prabowo mengatakan pihaknya sedang membuat kerja sama police-to-police dengan beberapa negara anggota ASEAN. Listyo mengatakan kerja sama tersebut akan membantu menangkap orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO).