Warga Gaza cari tanda-tanda kehidupan di reruntuhan
Dengan langkah berat, Emad al-Ramli (45), seorang pria Palestina dari Kota Al-Mughraqa, Gaza tengah, berjalan melewati ...
![Warga Gaza cari tanda-tanda kehidupan di reruntuhan](https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2025/02/10/CjkinzN007024_20250210_CBMFN0A001.jpg)
Gaza (ANTARA) - Dengan langkah berat, Emad al-Ramli (45), seorang pria Palestina dari Kota Al-Mughraqa, Gaza tengah, berjalan melewati daerah yang hancur ditinggalkan tentara Israel di kedua sisi Koridor Netzarim, sebuah jalur yang membagi Gaza menjadi zona utara dan selatan.
Kehancuran yang terjadi di Wadi Gaza, satu-satunya daerah lahan
basah di Jalur Gaza, sangat luar biasa. Bangunan-bangunan yang
dulunya berdiri tegak kini menjadi puing-puing, jalanan musnah,
dan semua tanda-tanda kehidupan lenyap.Ayah dari tujuh orang
anak itu berdiri termangu dalam keheningan, berusaha keras
untuk mencerna skala kehancuran yang terjadi. Rumah-rumah yang
dulunya penuh dengan tawa anak-anak telah hancur menjadi
puing-puing yang berserakan."Apa yang sedang kita lihat ini?
Apakah ini mimpi buruk, atau kenyataan?" gumamnya dengan suara
tercekat oleh emosi. "Israel tidak hanya melawan Hamas, tetapi
juga melawan kami semua. Mereka ingin menghancurkan harapan
kami dan membuat kami putus asa," ujarnya dengan mata
berkaca-kaca.Namun, kengerian dari kehancuran itu bukanlah
satu-satunya hal yang mengejutkan. Ketika dia bergabung dengan
sekelompok tetangga, kakinya menginjak sesuatu yang sebagian
terkubur di pasir. Saat membungkuk, dia mendapati sisa-sisa
tubuh manusia.Tubuhnya gemetar sembari berteriak, "Ada martir
di sini! Ada sisa-sisa tubuh manusia di sini!"
![](https://img.antaranews.com/cache/800x533/2025/02/10/CjkinzN007024_20250210_CBMFN0A002.jpg)
Al-Ramli bukanlah satu-satunya orang yang merasakan kengerian itu. Mereka yang kembali ke Wadi Gaza menyaksikan kehancuran yang tak terbayangkan, dengan jenazah bergelimpangan, beberapa terlihat jelas, sementara yang lainnya tertimbun reruntuhan.
Saat para penyintas kembali ke rumah mereka di Wadi Gaza, mereka berjalan di antara reruntuhan, merasa seperti orang asing di tanah mereka sendiri.
Abdul Salam Hamoud (33) datang bersama tiga saudara laki-lakinya untuk mencari saudara mereka, Ahmed, yang hilang satu tahun lalu. Alih-alih menemukan jasadnya, mereka hanya menemukan potongan-potongan pakaiannya."Pakaian ini menandakan satu hal, dia telah tiada," katanya dengan suara bergetar. "Di sini, kehidupan telah berhenti. Yang tersisa hanyalah gaung kesedihan dan kematian."Pada Minggu (9/2), tentara Israel menarik diri dari daerah yang dikenal sebagai Koridor Netzarim. Langkah tersebut merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas yang mulai berlaku bulan lalu, yang memungkinkan warga Palestina untuk bergerak bebas antara Gaza utara dan selatan.
![](https://img.antaranews.com/cache/800x533/2025/02/10/CjkinzN007024_20250210_CBMFN0A003.jpg)
Joudeh al-Maghribi, seorang pria Palestina berusia 80 tahun,
pernah memiliki rumah lima lantai yang menaungi 40 anggota
keluarga besarnya. Kini, semuanya telah musnah."Ke mana kami
harus pergi sekarang? Bagaimana kami dapat mulai membangun
kembali apa yang telah hancur akibat perang?" tanyanya sembari
berdiri terpaku.Rumah Al-Maghribi termasuk di antara 2.500
rumah yang hancur akibat serangan tentara Israel, menurut Jaber
Abu Hajir, wali kota Wadi Gaza."Tentara Israel melenyapkan
semua tanda-tanda kehidupan di Wadi Gaza," kata Abu Hajir.
"Mereka meratakan 2.000 dunam (200 hektare) lahan pertanian,
mengubah daerah itu menjadi kota hantu yang tidak layak
huni.""Mayat-mayat tergeletak membusuk di tempat terbuka.
Kehancurannya sangat besar, dan tidak ada sumber daya untuk
membantu para penyintas. Orang-orang tidak memiliki apa-apa
selain keputusasaan dan penyesalan," ujarnya, menggambarkan
situasi tersebut sebagai "malapetaka besar dalam segala
aspek."Abu Hajir menyerukan kepada masyarakat internasional
untuk segera turun tangan dalam upaya membangun kembali Gaza.
"Kami tidak dapat menanggung penderitaan ini sendirian,"
ujarnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2025