Memahami Isra Miraj

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa Isra Mi'raj merupakan momentum istimewa dalam kalender Islam. Perjalanan malam Rasulullah SAW yang melintasi bagian bumi dan langit itu kerap dirayakan untuk menebalkan keimanan Muslim....

Memahami Isra Miraj

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa Isra Mi'raj merupakan momentum istimewa dalam kalender Islam. Perjalanan malam Rasulullah SAW yang melintasi bagian bumi dan langit itu kerap dirayakan untuk menebalkan keimanan Muslim. Shalat pun menjadi manifestasi peristiwa tersebut bagi mereka yang bertakwa.

Melintasi Dua Masjid Hingga Menggapai Langit

Umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 27 Rajab 1442 Hijriyah yang bertepatan pada 11 Maret 2021. Pakar ilmu Alquran yang juga pengasuh pesantren Dar Al Quran Arjawinangun, Cirebon, KH Ahsin Sakho Muhammad menjelaskan, Isra Mi’raj terjadi pada diri Nabi Muhammad setahun sebelum peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW.

Isra yaitu Rasulullah SAW diperjalankan Allah pada suatu malam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem dengan menunggang buraq yang merupakan tunggangan para nabi. Tujuannya untuk diperlihatkan mengenai sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keterangan itu sebagaimana tertulis pada ayat 1 surah al-Isra.

Ada perbedaan pendapat para ulama mengenai keadaan Rasulullah Isra dan Mi’raj itu secara jasad dan ruh atau ruh saja. Namun, KH Ahsin mengatakan, jumhur ulama berpendapat, Rasulullah di Isra dan di Mi’raj-kan oleh Allah dalam jasad dan ruhnya.

"Kalau yang memperjalankan itu Allah, tidak ada sesuatu yang mustahil. Bagi kita mungkin jauh banget, tapi hal-hal yang berkaitan gaib itu tidak bisa diukur oleh logika akal manusia,” kata Kiai Ahsin kepada Republika, beberapa hari lalu.

Kiai Ahsin menjelaskan ketika Rasulullah sampai di Masjidil Aqsha, Rasulullah bertemu dengan para nabi dan rasul terdahulu. Pertemuan itu terjadi secara rohani. Nabi pun melaksanakan shalat bersama para nabi dan rasul terdahulu.

Menurut Kiai Ahsin, bertemunya Rasulullah dengan para nabi dan rasul sebelumnya memiliki makna bahwa Islam adalah agama tauhid yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdahulu. Rasulullah yang memimpin shalat para nabi dan rasul terdahulu di Masjid al-Aqsha menunjukan, Rasulullah adalah pemimpin para nabi dan rasul.

"Jadi, ada makna wahdatul adiyan, artinya agama Islam itu agama tauhid, agama yang dibawa para nabi terdahulu, dan ini membuktikan bahwa nabi Muhammad adalah sayidul ambiya wal mursalin," kata dia.

Lantas, mengapa al-Aqsha menjadi tempat di muka bumi yang dipilih sebagai tempat transit Rasulullah sebelum ke Sidratul Muntaha?

Kiai Ahsin menjelaskan, al-Aqsha merupakan masjid yang sangat mulia dan diberkahi. Sebagian ulama berpendapat, al-Aqsha dibangun oleh Nabi Adam setelah membangun Masjidil Haram dengan jarak pembangunan sekitar 40 tahun. Selain itu, al-Aqsha menjadi tempat diturunkannya para nabi-nabi terdahulu, seperti Ibrahim, Ishak, Yakub, dan Musa.

Adapun Prof KH Ahmad Satori Ismail menjelaskan, dari al-Aqsha, Rasulullah dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Peristiwa itulah yang disebut dengan Mi’raj. Mi’rajnya Rasulullah dilakukan dengan jasad dan ruhnya.

Allah SWT menaikkan Rasulullah ke Sidratul Muntaha dari al-Aqsha karena tempat itu mulia dan penuh keberkahan. Allah SWT menurunkan para nabi dan rasul terdahulu di tempat itu. Keterangan tentang Mi’raj-nya Rasulullah dapat ditemukan dalam surah an-Najm serta sejumlah hadis Rasulullah.

Sebenarnya, apa itu Sidratul Muntaha? Pakar tafsir Quran yang juga dosen quranic studies Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustaz Syahrullah Iskandar menjelaskan, kata sidratul muntaha disebutkan sekali dalam Alquran, yaitu pada surah an-Najm ayat 14.

Sidrah berarti sejenis pohon rindang, sedangkan muntaha bermakna tempat terakhir. Secara kebahasaan, gabungan keduanya bermakna tumbuhan atau pohon sidrah yang tak terlampaui.

Loading...