Subsidi tepat sasaran "gas melon"
Buah melon nan menyegarkan dan menyehatkan. Konon sangat bermanfaat untuk pengidap "darting" alias ...
Jakarta (ANTARA) - Buah melon nan menyegarkan dan menyehatkan. Konon sangat bermanfaat untuk pengidap "darting" alias hipertensi, plus kolesterol tinggi.
Tetapi lain halnya dengan gas elpiji 3 kg alias "gas melon", yang membuat Menteri Bahlil Lahadalia uring-uringan, tersebab gas melon menjadi salah satu pemicu utama melambungnya subsidi energi.
Konsumen pun kadang dibuat masygul, manakala gas melon tetiba langka di pasaran, dan harganya melambung pula.
Subsidi gas melon bagian yang tak terpisahkan dari subsidi energi, yang pada tahun 2025 mencapai Rp203,45 triliun, naik sebesar 7,54 persen dari tahun sebelumnya, 2024. Subsidi energi yang nyaris menyamai anggaran program MBG (Makan Bergizi Gratis) itu terdiri atas subsidi BBM (untuk jenis bahan bakar tertentu) sebesar Rp26, 66 triliun, subsidi listrik Rp89,75 triliun dan subsidi gas melon Rp87 triliun.
Subsidi gas melon sejatinya relatif lebih tepat sasaran, daripada subsidi BBM untuk kendaraan pribadi. Hanya saja, sejak PT Pertamina menerapkan harga keekonomian untuk gas elpiji non subsidi (5,5 kg ke atas), maka imbasnya terjadi disparitas harga yang sangat menyolok antara gas elpiji melon dengan gas elpiji non subsidi itu. Disparitas harga yang tinggi ini setidaknya menelorkan beberapa anomali di pasaran.
Pertama, fenomena migrasi konsumen. Konsumen gas elpiji 5,5 kg ke atas berpindah menjadi konsumen gas melon. Sehingga jangan heran jika kelompok mampu, sekalipun tinggal di apartemen, tetapi tentengannya gas melon.
Fenomena turun kelas saat ini kisarannya mencapai hampir 30 persen dari pengguna gas elpiji non subsidi. Apalagi tabung gas elpiji melon terasa sangat praktis, ditenteng siapapun akan terasa mudah, sekalipun oleh emak-emak. Bandingkan dengan tabung gas elpiji 5,5 kg atau bahkan gas elpiji 12 kg, mana mau dan mampu emak-emak menentengnya? Bapak-bapak pun akan kelimpungan menggaet gas elpiji 5,5-12 kg.
Fenomena migrasi hal yang lumrah baik dari sisi ekonomi maupun sosiologis. Pasalnya, ada jenis komoditas dengan kualitas sama, tetapi harganya berbeda, ibarat bumi dengan langit. Siapa pun akan "ngiler" untuk membeli yang lebih murah.
Namun ironisnya fenomena migrasi ini selama puluhan tahun nyaris terjadi pembiaran oleh pemerintah, tak ada upaya serius untuk mengatasinya. Korbannya ya konsumen menengah bawah (yang berhak atas subsidi energi) karena harus berebut dengan konsumen mampu yang turun kelas menjadi konsumen gas melon.
Anomali yang kedua, adalah pengoplosan. Sudah banyak kasus ditemukan, gas elpiji non subsidi dioplos dengan gas melon. Lagi-lagi insting ekonomi yang cukup jeli memanfaatkan keadaan, yakni mencari keuntungan sepihak, walau tindakan itu bukan hanya merugikan, tetapi membahayakan.
Kasus-kasus kebakaran yang dipicu oleh gas elpiji sering terjadi akibat aksi pengoplosan oleh oknum agen/sub agen. Pengoplosan secara serampangan mengakibatkan kebocoran, dan endingnya boom, ledakan yang menghancurkan properti dan menimbulkan korban.
Sesungguhnya, agar terhindar dari aksi pengoplosan, dan atau ukuran volume yang tepat, konsumen sebagai pengguna gas elpiji bisa membelinya di agen resmi. Termasuk membeli di retailer modern.
Murahnya harga gas elpiji 3 kg, juga menyebabkan upaya pemerintah dan PT PGN dalam mengembangkan jaringan gas (jargas) rumah tangga menjadi mati suri, alias tidak berkembang.
Mana mungkin jargas dengan harga gas Rp 12.000 per kg, harus berkompetisi dengan harga gas elpiji 3 kg yang hanya dibanderol Rp 7.500 kg. Yang ada, banyak pelanggan jargas rumah tangga yang justru ikut-ikutan migrasi (turun kelas) menjadi konsumen gas melon.
Padahal harga keekonomian gas alam sejatinya lebih murah, karena tidak impor. Sedangkan gas elpiji 70 persen masih dipasok dari impor.
Sejatinya, solusi untuk mengatasi fenomena ini sederhana, gampang saja. Asal ada komitmen yang sungguh-sungguh, misalnya, lakukan distribusi tertutup, seperti awal gas melon dicanangkan pada 2006. Artinya, distribusi tertutup itu menjadi instrumen untuk memberikan jaminan bahwa yang membeli gas elpiji 3 kg adalah masyarakat yang berhak, yakni rumah tangga miskin.
Upaya Kementerian ESDM dan PT Pertamina untuk melakukan pengendalian distribusi dengan akses My Pertamina dan KTP, ini sejatinya hal yang masuk akal, sebagai upaya untuk menjadikan distribusi tertutup, sehingga subsidi gas elpiji 3 kg benar benar tepat sasaran, sebagaimana mandat Pasal 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. UU Energi memandatkan bahwa yang berhak atas subsidi energi adalah masyarakat tidak mampu.
Selain dengan instrumen distribusi tertutup, instrumen kebijakan lainnya adalah memperkecil disparitas harga gas elpiji. Lagi lagi ini harus ada nyali untuk mengeksekusinya, apakah pemerintah berani menaikkan harga gas melon, yang memang belum pernah direview sejak 2006, atau PT Pertamina legowo untuk menurunkan harga gas elpiji non subsidinya. Untuk hal ini Pertamina pasti ogah, karena artinya margin profitnya akan tergerus, alias merugi. Sebab sesuai regulasi, harga gas non subsidi adalah aksi korporasi (domainnya Pertamina), bukan aksi regulasi seperti gas melon.
Sekalipun jika opsinya harga gas melon yang direview (disesuaikan/dinaikkan), sejatinya konsumen bisa merespon dengan perubahan perilaku konsumsi di level rumah tangganya. Sebagai contoh, banyak rumah tangga miskin yang tersandera oleh konsumsi rokok, yang rata rata mencapai 10-11 persen dari total pengeluarannya.
Jika perilaku tingginya konsumsi produk adiktif ini bisa digeser, maka kenaikan harga gas elpiji, tarif listrik, tarif PAM, harga lauk pauk, akan bisa tertutupi oleh migrasi atas tingginya belanja masyarakat untuk membeli rokok.
Opsi yang ketiga, alihkan subsidi gas elpiji pada orangnya sebagai penerima subsidi, by name by address. Ini lebih fair, daripada subsidi pada barangnya. Subsidi apa pun jika dilekatkan pada barang, pasti akan banyak terjadi distorsi dan anomali, termasuk subsidi pada gas elpiji 3 kg.
Maka untuk mengimplementasikan subsidi gas elpiji berbasis orang (penerima), basisnya adalah DTKS (Data Terpadu Kemiskinan Sosial) milik Kemensos. Mengacu DTKS inilah kepastian siapa yang berhak dan tidak berhak atas subsidi (subsidi apa pun).
Jadi, untuk menyelamatkan agar subsidi gas elpiji 3 kg tepat sasaran, ya, opsinya hanya tiga instrumen kebijakan itu; distribusi tertutup, memperkecil disparitas harga, atau subsidi berbasis orang, bukan barang. Ketiga kebijakan itu masing-masing ada risikonya, ada plus minusnya. Kecuali pemerintah punya banyak fulus untuk memasok subsidi elpiji 3 kg, yang saat ini jumlahnya mencapai hampir 90 juta tabung.
Jika merujuk pada realitas sosiologis di lapangan, subsidi energi, terkhusus subsidi gas elpiji 3 kg memang harus ditata ulang, baik dari hulu maupun hilir. Tata ulang dari sisi hulu, akan menyelamatkan impor energi yang makin menggelembung, termasuk impor gas elpiji. Dan dari sisi hilir, akan menyelamatkan subsidi pada yang berhak, yakni rumah tangga tidak mampu, yang memang punya hak normatif atas subsidi energi.
Pemerintah jangan bersikap ambigu dan bernuansa politis, untuk mendorong terwujudnya subsidi energi yang tepat sasaran secara holistik, baik di sektor listrik, BBM, dan gas elpiji. Apalagi jika pemerintah konsisten dengan komitmen global bahwa terkait subsidi, tidak bisa dilepaskan dengan upaya mewujudkan Nett Zero Emission (NZE).
Bagaimana mau mewujudkan NZE jika subsidi pada energi fosilnya (BBM, listrik, gas elpiji) masih sangat dominan. Jika basis filosofinya aspek ekologis dengan instrumen NZE, maka subsidi pada energi fosil (termasuk gas elpiji), adalah kebijakan yang paradoks. Keadilan ekologis subsidi energi, hanyalah untuk energi baru terbarukan, bukan energi fosil.
*) Tulus Abadi adalah pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, Pengurus Harian YLKI.
Copyright © ANTARA 2025