Politik Zakat : Antara Kebaikan dan Kontroversi
Pengelolaan dana zakat selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama ketika dikaitkan dengan strategi politik dan kebijakan publik. Sebagai salah satu instrumen keuangan Islam, zakat memiliki potensi besar...
Pengelolaan dana zakat selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama ketika dikaitkan dengan strategi politik dan kebijakan publik. Sebagai salah satu instrumen keuangan Islam, zakat memiliki potensi besar untuk mendukung kesejahteraan sosial, terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat yang kurang mampu. Namun, ketika pengelolaan zakat mulai diintegrasikan dengan strategi politik, muncul berbagai tantangan dan pertanyaan etis yang perlu dijawab. Dana zakat memiliki peran strategis dalam mendukung kesejahteraan umat. Dengan pengelolaan yang profesional, dana ini dapat diarahkan untuk berbagai program sosial, seperti pendidikan, kesehatan, pelatihan kerja, dan bantuan kepada kaum dhuafa. Dalam konteks kebijakan publik, zakat bahkan dapat menjadi pelengkap program-program pemerintah untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Menurut laporan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Indonesia mencapai Rp327,6 triliun per tahun. Namun, realisasi penghimpunan zakat baru mencapai sekitar Rp12,5 triliun pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60% dana zakat dialokasikan untuk program pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan keterampilan dan pemberian modal usaha kepada kelompok miskin produktif. Program-program ini berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangga penerima manfaat hingga rata-rata 40% dalam kurun waktu satu tahun.
Berdasarkan data terbaru tahun 2024, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI berhasil mencapai target pengumpulan zakat sebesar Rp1 triliun pada triwulan ketiga tahun 2024, meningkat dari Rp882 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Secara nasional, total pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (ZIS-DSKL) mencapai Rp26,13 triliun hingga kuartal kedua tahun 2024, mencatat kenaikan 68,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk tahun 2024, BAZNAS RI menargetkan penerimaan zakat sebesar Rp41 triliun, dengan potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai Rp362 triliun. Potensi yang besar untuk membantu Masyarakat ini, dalam pandangan Masyarakat masih terdapat berbagai kontroversi yang menyertainya. Salah satu isu utama adalah bagaimana pengelolaan dan distribusi zakat yang sering kali menjadi sorotan. Banyak pihak menganggap bahwa pengelolaan zakat belum optimal, sehingga tidak semua dana zakat dapat disalurkan kepada yang benar-benar membutuhkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Islam Indonesia, hanya sekitar 60% dari total zakat yang terkumpul yang benar-benar sampai ke tangan mustahik (penerima zakat) (UII, 2020). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat.
Program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh BAZNAS dan LAZ, seperti pelatihan keterampilan dan pemberian modal usaha, diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup para mustahik dan mendorong kemandirian ekonomi di berbagai wilayah. Namun, tantangan seperti literasi zakat yang masih rendah menjadi hambatan dalam mengoptimalkan potensi zakat yang ada. Data-data ini menunjukkan bahwa dengan strategi pengelolaan yang tepat, dana zakat memiliki potensi besar untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Misalnya, alokasi dana zakat untuk pendidikan dapat membantu menurunkan angka putus sekolah. Sementara itu, zakat untuk pelatihan kerja dapat meningkatkan keterampilan masyarakat miskin agar lebih produktif. Di sini terlihat bahwa zakat memiliki dampak signifikan jika dikelola secara terencana dan tepat sasaran.
Zakat berfungsi sebagai alat redistribusi kekayaan dan instrument keadilan sosial, akan membantu mengurangi kesenjangan ekonomi di masyarakat. Menurut data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), zakat yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dan mengurangi angka kemiskinan. Berbagai program yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Misalnya, program beasiswa bagi anak-anak kurang mampu yang didanai oleh zakat dapat membantu meningkatkan akses pendidikan dan mengurangi angka putus sekolah. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, angka putus sekolah di Indonesia mencapai 2,5 juta pada tahun 2020, dan zakat dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini (Kemendikbud, 2021). Di sektor kesehatan, zakat juga dapat digunakan untuk membantu masyarakat yang tidak mampu dalam mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Program-program kesehatan yang didanai oleh zakat, seperti pengobatan gratis dan pemeriksaan kesehatan rutin, dapat membantu meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Airlangga menunjukkan bahwa 70% masyarakat yang menerima bantuan kesehatan dari zakat merasa lebih sehat dan mampu beraktivitas sehari-hari (Unair, 2021).Dengan kata lain, zakat bukan hanya sekadar kewajiban individu, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan ini. Dalam konteks politik, pemerintah dapat berkolaborasi dengan lembaga zakat untuk memastikan bahwa dana zakat digunakan secara efektif dalam program-program pembangunan sosial. Namun, ada argumen yang menyatakan bahwa keterlibatan zakat dalam politik dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Beberapa pihak berpendapat bahwa politisasi zakat dapat menyebabkan ketidakadilan dan korupsi. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan zakat dapat meminimalisir risiko tersebut. Dengan adanya regulasi yang jelas dan akuntabilitas, zakat dapat berfungsi sebagai alat untuk mendukung program-program pemerintah yang pro-rakyat. Salah satu argumen yang sering muncul adalah bahwa zakat seharusnya tidak dicampuradukkan dengan urusan politik. Para penentang berpendapat bahwa zakat harus tetap menjadi urusan individu dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik. Namun, pandangan ini mengabaikan fakta bahwa zakat memiliki potensi besar untuk mendukung kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan melibatkan zakat dalam kebijakan politik, kita dapat menciptakan sinergi antara kewajiban religius dan tanggung jawab sosial.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan zakat juga menjadi faktor penting dalam memastikan bahwa dana zakat digunakan dengan tepat. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan zakat, sehingga mereka dapat memastikan bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan mereka. Dengan demikian, zakat tidak hanya menjadi instrumen politik, tetapi juga alat pemberdayaan masyarakat. Peranan zakat dalam politik tidak lepas dari risiko politisasi. Ketika zakat digunakan sebagai alat untuk membangun citra politik atau mendukung agenda kelompok tertentu, tujuan utama zakat sebagai bentuk ibadah dan instrumen kesejahteraan sosial dapat tergeser. Misalnya, ada risiko bahwa dana zakat dialokasikan berdasarkan pertimbangan politik, bukan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Politisasi zakat juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat. Ketika masyarakat melihat bahwa dana zakat tidak dikelola secara transparan atau digunakan untuk kepentingan politik tertentu, hal ini dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam membayar zakat melalui jalur resmi. Akibatnya, potensi zakat yang besar tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk memastikan dan sinergitas bahwa zakat dapat berperan positif dalam politik, diperlukan pendekatan yang etis, transparan, dan profesional. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi: Regulasi yang Jelas: Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan dana zakat, termasuk mekanisme pengawasan yang efektif, Kolaborasi dengan Lembaga Independen: Pengelolaan zakat sebaiknya melibatkan lembaga-lembaga independen yang memiliki kredibilitas tinggi untuk mengurangi risiko intervensi politik dan Peningkatan Literasi Zakat: Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya zakat dan mekanisme pengelolaannya dapat meningkatkan kesadaran publik sekaligus mendorong akuntabilitas lembaga pengelola zakat.
Meskipun zakat memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat sosial, kontroversi seputar pengelolaannya tetap menjadi perhatian. Salah satu isu yang sering muncul adalah adanya dugaan penyalahgunaan dana zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pengelola zakat, meskipun tidak banyak, telah mencoreng citra zakat sebagai instrumen sosial yang bersih dan transparan. Misalnya, pada tahun 2019, kasus penggelapan dana zakat oleh salah satu lembaga amil zakat di Jakarta menghebohkan publik dan menimbulkan keraguan terhadap pengelolaan zakat secara umum (KPK, 2019). Selain itu, ada juga perdebatan mengenai kriteria mustahik yang berhak menerima zakat. Beberapa pihak berpendapat bahwa kriteria yang ada saat ini masih terlalu sempit dan tidak mencakup semua kelompok masyarakat yang membutuhkan. Misalnya, banyak pekerja informal yang tidak terdaftar sebagai penerima zakat, padahal mereka juga mengalami kesulitan ekonomi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, sekitar 60% tenaga kerja di Indonesia adalah pekerja informal yang sering kali tidak memiliki jaminan sosial (BPS, 2021). Hal ini menunjukkan perlunya revisi terhadap kriteria penerima zakat agar lebih inklusif. Kritik lain juga datang dari segi efektivitas program-program yang didanai oleh zakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak semua program yang didanai oleh zakat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Misalnya, program pemberdayaan ekonomi yang didanai oleh zakat sering kali tidak terencana dengan baik dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini menyebabkan program tersebut tidak berjalan efektif dan tidak memberikan manfaat yang diharapkan (Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2020).
Dengan demikian, zakat memiliki potensi yang besar untuk berperan dalam politik sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Meskipun ada risiko penyalahgunaan, dan diwarnai kontroversi terkait pengelolaannya dengan pengawasan yang ketat, akuntabel dan transparansi, serta kerjasama yang baik antara pemerintah dan lembaga amil zakat. Edukasi masyarakat tentang zakat juga sangat penting untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran akan pentingnya zakat. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah perlunya reformasi dalam pengelolaan zakat, termasuk revisi kriteria mustahik, peningkatan transparansi, dan evaluasi program secara berkala. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan zakat dapat berfungsi secara optimal sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat, mengurangi kesenjangan sosial dan zakat dapat digunakan untuk mendukung program-program yang pro-rakyat. Penting bagi kita untuk melihat zakat tidak hanya sebagai kewajiban religius, tetapi juga sebagai instrumen politik yang dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat. Peranan zakat dalam politik dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, zakat dapat memperkuat kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan sosial, di sisi lain, zakat juga berisiko dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang sempit. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga pengelola zakat, dan masyarakat untuk memastikan bahwa zakat tetap menjadi instrumen yang membawa manfaat bagi semua pihak tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, mari kita dorong keterlibatan zakat dalam politik demi mencapai tujuan bersama: keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh umat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.