Survei: Publik Dukung Kejagung Banding Naikkan Hukuman Harvey Moeis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan vonis 6 tahun penjara untuk terpidana kasus timah Harvey Moeis, tidak setimpal dengan harapan publik. Karena itu, publik mendukung...

Survei: Publik Dukung Kejagung Banding Naikkan Hukuman Harvey Moeis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan vonis 6 tahun penjara untuk terpidana kasus timah Harvey Moeis, tidak setimpal dengan harapan publik. Karena itu, publik mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengajukan banding agar hukuman Harvey diperberat.

Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, mengatakan, dalam survei ditemukan publik sangat menaruh perhatian terhadap isu korupsi tata kelola timah. Ini terlihat dari mayoritas publik yang tahu, yang mencapai 74,6 persen. Dari jumlah mereka yang tahu, sebesar 76,8 persen mengaku tahu kalau jaksa menuntut hukuman penjara 12 tahun kepada Harvei Moeis.

“Sebenarnya akan lebih bagus lagi kalau Kejagung tidak hanya menuntut 12 tahun penjara, tetapi hukuman maksimal 20 tahun penjara. Kalau dituntut 20 tahun mungkin masyarakat akan lebih melihat lebih setimpal,” kata Djayadi, , saat memaparkan survei secara virtual, Ahad (9/2/2025).

Atas tuntutan hukuman ini, secara umum respon yang menganggap hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp.1 miliar yang dijatuhkan hakim kepada Harvey Moeis, tidak setimpal (89,3 persen). “Bagi respon yang tahu hukumannya 6 tahun, angkanya lebih tinggi lagi yaitu 95,8 persen,” ungkap Djayadi/

Dengan hukuman yang dianggap tidak setimpal, publik mayoritas mendukung langkah Kejagung untuk mengajukan banding atas hukuman Harvey Moeis. Sebanyak 70,8 persen menyatakan setuju jaksa mengajukan banding.

Keinginan publik yang ingin koruptor dihukum berat ini tercermin juga dari dukungan mereka terhadap pernyataan Presiden Prabowo Subianto, yang menyerukan koruptor dihukum 50 tahun penjara. Responden yang mendukung pernyataan ini mencapai 88,6 persen. Sedang yang tidak setuju hanya 5,8 persen.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan, masyarakat melihat kerugian negara terkait korupsi timah sangat luar biasa. “Dan mereka melihat hukumannya terlalu ringan,” kata Hibnu.

Hibnu melihat adanya pergeseran nilai dalam persoalan hukuman koruptor. Dijelaskannya, tujuan diberikannya hukuman adalah pembalasan, perbaikan, dan restitutif. “Khusus pidana korupsi nampaknya masyarakat ingin pembalasan. Dalam arti hukumannya harus berat, dan pengembalian kerugian negaranya harus maksimal,” papar pakar pidana ini.

Dengan keinginan publik seperti ini, lanjut Hibnu, Kejagung mengajukan banding agar hukuman diperberat. Termasuk setelah pidana Harvey Moeis, kata Hibnu, Kejagung juga akan mengejar pidana dari korporasi untuk mengembalikan kerugian negara.

Hibnu Nugroho, mengatakan, dalam penanganan sebuah perkara maka goal-nya adalah keputusan pengadilan. “Seandainya hakim memutus lebih (hukuman Harvey) dari tuntutan jaksa, dengan hukuman misalnya 20 tahun, itu diperbolehkan,” kata Hibnu.

Dalam konteks inilah, lanjut Hibnu, diperlukan hakim yang visioner dalam aspek pembalasan, dan aspek jera. Seheboh apapun penanganan di kejaksaan ataupun kepolisian, kata Hibnu, kuncinya tetap di pengadilan.

Ke depan, pengadilan adalah penjaga pintu depan keadilan, sehingga jika dirasa tuntutan jaksa masih kurang maka hakim bisa memutus hukuman yang lebih tinggi. “Jika punya visi yang sama, tuntutan 12 tahun bisa divonis 20 tahun. Itu sah. Tidak sah kalau hakim memutus melebihi yang diancamkan dalam UU yang didakwakan,” kata Hibnu.