Tren Hijrah Muslim Urban Perkotaan, Mengapa Semakin Menguat?  

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Istilah Arab hijrah, yang berarti "migrasi", secara etimologis mengacu pada segala bentuk migrasi. Namun, istilah ini memiliki arti khusus dalam tradisi Islam, karena istilah ini menandai migrasi bersejarah...

Tren Hijrah Muslim Urban Perkotaan, Mengapa Semakin Menguat?   

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Istilah Arab hijrah, yang berarti "migrasi", secara etimologis mengacu pada segala bentuk migrasi. Namun, istilah ini memiliki arti khusus dalam tradisi Islam, karena istilah ini menandai migrasi bersejarah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada abad ke-7.

Oleh karena itu, istilah ini melambangkan perjalanan fisik dan pencarian spiritual untuk mendapatkan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan iman Islam.

Mengutip kajian Najwa Abdullah dalam kajiannya bertajuk, The Phenomenon: Shifting Urban Muslim Identities In Indonesia – Analysis, sejak tahun 2000-an, istilah ini telah dihidupkan kembali dalam wacana populer di Indonesia dan digunakan oleh gerakan kebangkitan Islam untuk menandakan kesalehan dan identitas agama yang baru ditemukan.

Dengan penekanan pada pertobatan, pemurnian, dan reformasi diri, fenomena Hijrah dapat dilihat sebagai bentuk religiusitas yang 'dilahirkan kembali', atau dalam istilah lokal, 'santrinisasi', di mana seorang individu Muslim mengalami transformasi pribadi dengan meninggalkan gaya hidup yang dianggap berdosa dan merangkul jalan yang lebih saleh.

Dengan demikian, gerakan Hijrah melihat munculnya kelompok-kelompok pengajian, meluasnya penggunaan pakaian Muslim seperti hijab (cadar), dan peningkatan minat yang signifikan terhadap ziarah haji dan umrah.

Dalam konteks ini, sebuah studi 2021 oleh PPIM UIN Jakarta menunjukkan bahwa gerakan Hijrah dipersepsikan secara positif oleh sebagian besar audiens daring karena fokusnya pada perbaikan diri yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.

Pada saat yang sama, tren Hijrah sering kali memperkuat norma dan nilai konservatif dan oleh karena itu dapat dilihat sebagai bagian dari kebangkitan Islam konservatif secara keseluruhan di Indonesia pasca-Reformasi.

Namun, tren ini tidak memiliki fondasi institusional yang jelas dan terpadu. Dikatakan bahwa para pengikut Hijrah mewujudkan apa yang digambarkan oleh cendekiawan Indonesia, Kuntowijoyo, sebagai "Muslim Tanpa Masjid."

Tidak seperti santri tradisional, yang mendapatkan pengetahuan Islam melalui lembaga-lembaga yang sudah lama berdiri seperti pesantren atau madrasah, para pengikut Hijrah mendapatkan pemahaman mereka dari sumber-sumber non-tradisional seperti buku-buku populer, majalah, radio, televisi, dan internet.

Didirikan oleh tokoh masyarakat dan pengkhotbah otodidak, mereka menyampaikan dakwah Islam melalui metode-metode baru, seperti melibatkan kelompok-kelompok berbasis hobi, memanfaatkan media sosial, berkolaborasi dengan para pemberi pengaruh, dan menawarkan layanan seperti konseling remaja dan perjodohan.

Mereka memproduksi konten kreatif seperti novel, lagu, film, dan fesyen untuk menampilkan Islam yang sesuai dengan budaya konsumen dan gaya hidup perkotaan, membahas tema-tema yang berkaitan dengan cinta, pernikahan, dan karier.

Contoh kasusnya adalah munculnya 'novel cadar', sebuah genre roman yang berorientasi religius yang secara mencolok menampilkan wanita Muslim bercadar baik dalam narasi maupun citranya.

Khususnya, kesuksesan besar Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2008, baik sebagai novel dengan penjualan lebih dari 1 juta eksemplar dan sebagai film dengan 3,8 juta penonton, telah membawa perhatian yang lebih luas pada genre ini.

Menampilkan seorang pemuda Muslim yang saleh dan seorang wanita Muslim bercadar sebagai protagonis, cerita ini menggambarkan poligami sebagai praktik Islam yang disetujui dan menganjurkan ta'aruf (pacaran yang sesuai dengan Islam).

Contoh lainnya adalah menjamurnya buku-buku panduan yang mendorong perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab dan melakukan ta'aruf sebagai sarana untuk memperbaiki diri dan menjauhkan diri dari praktik-praktik maksiat. Termasuk di dalamnya buku Yuk Berhijab! (Yuk Berhijab!, 2013) dan Udah, Putusin Aja! (Udah, Putusin Aja, 2015) oleh Felix Siauw, seorang penceramah otodidak yang dikenal dengan sikapnya yang pro-kekhalifahan.

BACA JUGA:

Selain keterlibatan media, jaringan offline dan kehadiran fisik juga sama pentingnya bagi keberhasilan dan keberlanjutan upaya pembangunan komunitas Hijrah.

Dengan dukungan dari pemerintah dan perusahaan-perusahaan komersial, komunitas-komunitas Hijrah merebut ruang publik seperti mal, alun-alun kota, dan jalan-jalan. Di Bandung, misalnya, mereka berkolaborasi dengan komunitas pengendara motor untuk mengadakan konvoi setelah sholat tarawih.

 

Loading...