Trump Incar Greenland karena Punya Potensi Mineral Kritis
Perdana Menteri Greenland, Mute Egede, mengatakan kepada Trump bahwa pulau Arktik itu tidak untuk dijual.
Para eksekutif pertambangan dan ahli geologi menduga upaya Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) untuk mengakuisisi Greenland dimotivasi oleh keberadaan mineral-mineral penting (critical minerals) atau mineral kritis. Greenland diprediksi memiliki sumber daya mineral kritis dalam jumlah besar.
Upaya Trump yang telah berlangsung selama bertahun-tahun untuk menguasai pulau terbesar di dunia ini meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir. Menjelang pelantikannya pada 20 Januari, Trump mengatakan kepemilikan AS atas wilayah otonom Denmark merupakan kebutuhan mutlak untuk tujuan yang berkaitan dengan keamanan nasional dan kebebasan di seluruh dunia.
Trump menolak untuk mengesampingkan penggunaan kekuatan militer atau ekonomi untuk menjadikan sebagai bagian dari AS.
Perdana Menteri Greenland, Mute Egede, mengatakan kepada Trump bahwa pulau Arktik itu tidak untuk dijual. Egede mendesak komunitas internasional untuk menghormati aspirasi kemerdekaan wilayah tersebut. Baru-baru ini, Egede dan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen, juga menyerukan pembicaraan dengan Trump untuk menyelesaikan situasi ini.
“Ini adalah tentang mineral penting. Ini tentang sumber daya alam,” kata penasihat keamanan nasional presiden terpilih, Michael Waltz, kepada Fox News dalam sebuah wawancara pada 9 Januari lalu. Ia juga menyebut pernyataan Trump tentang penguasaan Greenland adalah bagian dari agenda "America First".
Mineral kritis mengacu pada sebagian bahan yang dianggap penting untuk transisi energi. Mineral-mineral ini termasuk logam seperti tembaga, litium, nikel, kobalt, dan elemen tanah jarang yang cenderung memiliki risiko tinggi terhadap gangguan rantai pasokan.
Mineral kritis dan elemen tanah jarang merupakan komponen penting dalam teknologi ramah lingkungan yang sedang berkembang, seperti turbin angin dan kendaraan listrik. Mineral-mineral ini juga dimanfaatkan untuk membuat teknologi penyimpanan energi dan aplikasi keamanan nasional.
Upaya AS Menyaingi Cina
Saat ini, Cina adalah pemimpin rantai pasokan mineral penting yang tak terbantahkan, menyumbang sekitar 60% dari produksi mineral dan bahan tanah jarang di dunia. Para pejabat AS memperingatkan hal ini merupakan tantangan strategis di tengah-tengah peralihan dari energi fosil ke sumber energi rendah karbon.
Jakob Kløve Keiding, konsultan senior di Geological Survey of Denmark and Greenland (GEUS), mengatakan survei potensi sumber daya Greenland pada 2023 mengevaluasi total 38 bahan mentah di pulau itu. Sebagian besar memiliki potensi yang relatif tinggi atau sedang.
Bahan-bahan ini termasuk logam tanah jarang grafit, niobium, logam kelompok platinum, molibdenum, tantalum, dan titanium.
“Secara keseluruhan, kita dapat mengatakan ada potensi besar untuk bahan baku penting [di Greenland],” kata Keiding kepada CNBC melalui telepon.
Keiding menyebut mineral-mineral kritis ini sangat penting bagi perekonomian Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Greenland Tidak Dijual
Aaja Chemnitz, anggota parlemen Denmark dari Partai Inuit Ataqatigiit, menggambarkan komentar Trump tentang Greenland sebagai komentar yang tidak sopan. Ia menegaskan kembali pesan perdana menteri Greenland yang mengatakan wilayah itu tidak untuk dijual.
“Saya tidak khawatir. Saya pikir penting bagi kami untuk mengatakan bahwa Greenland tidak untuk dijual, tidak pernah dijual [dan] tidak akan pernah dijual,” kata Chemnitz kepada Silvia Amaro dari CNBC, Senin (13/1).
Chemnitz mengatakan anggota parlemen Greenland harus memiliki tujuan yang jelas dan sangat spesifik tentang bagaimana berkolaborasi dengan AS.
Hubungan yang lebih erat antara Greenland dan AS di masa mendatang dapat membantu memfasilitasi investasi di industri pertambangan di pulau itu.
Chemnitz menyebut Greenland sejak lama ingin membangun industri ekstraksi mineral kritis. "Kami telah mencari investor Amerika, [tetapi] kami belum menemukannya, jadi mereka (industri) sangat menyambut baik,” kata Chemnitz.
Militer AS mempertahankan kehadiran permanen di barat laut Greenland di Pangkalan Antariksa Pituffik, yang sebelumnya dikenal sebagai Pangkalan Udara Thule.
Roderick McIllree, Direktur Eksekutif 80 Mile, mengatakan ia telah bekerja di Greenland selama lebih dari 20 tahun dalam berbagai proyek, mulai dari penemuan sumber daya hingga kelayakan. 80 Mile adalah perusahaan tambang yang berbasis di Inggris.
“Saya pikir apa yang kita lihat di Greenland benar-benar merupakan perlombaan untuk mendapatkan apa yang tersisa,” kata McIllree kepada CNBC melalui panggilan video.
Ia menyebut survei negara independen menunjukkan Greenland dan batas-batas landas kontinennya berpotensi menyimpan 20% hingga 25% sumber daya yang dapat diekstraksi yang tersisa di planet ini.
"Nah, jika itu benar, itu adalah peluang yang sangat besar bagi Greenland," kata McIllree.
80 Mile saat ini memiliki tiga proyek yang secara aktif dikembangkan di Greenland, termasuk konsesi minyak besar di pantai timur pulau itu. Perusahaan juga memiliki proyek titanium di dekat Pituffik di barat laut, dan proyek Disko-Nuussuaq di barat daya.
Menggarisbawahi potensi sumber daya di wilayah tersebut, McIllree mengatakan proyek Disko milik perusahaan dapat menjadi salah satu penemuan nikel dan tembaga terbesar di planet ini.
“Greenland akan menjadi semakin populer; akan menjadi semakin penting karena adanya diskusi perubahan iklim, diskusi logam-logam penting dan diskusi geopolitik. Dan kedekatannya dengan AS benar-benar menjadikannya yurisdiksi alami untuk investasi AS yang signifikan,” kata McIllree.
Kepentingan Eropa dan AS
Pada Maret tahun lalu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen melakukan perjalanan ke Nuuk, Greenland untuk meresmikan kantor Uni Eropa di ibukota pulau tersebut.
Langkah ini, yang dilakukan beberapa bulan sebelum perjalanan Donald Trump Jr. ke kota yang sama. Kunjungan von der Leyen dirancang untuk memperkuat kehadiran Eropa di wilayah tersebut dan di wilayah Arktik yang lebih luas.
Von der Leyen mengumumkan dua perjanjian kerja sama dengan total nilai hampir 94 juta euro (Rp 15,7 triliun) dalam kunjungan tersebut. Dana tersebut akan diinvestasikan dalam proyek energi bersih, bahan baku penting, dan keterampilan di Greenland.
“Saya berlatar belakang ahli geologi dan saya tahu Greenland memiliki sumber daya alam yang sangat kaya,” ujar Paul Lusty, kepala penelitian bahan baku baterai di Fastmarkets, kepada CNBC.
Ia mengatakan ada banyak negara yang berminat mengolah mineral tanah jarang di Greenland. Karena itu, penguasaan Greenland bisa menjadi kepentingan strategis yang signifikan bagi AS.