Aktivis: Perpres Penertiban Kawasan Hutan Ancam Masyarakat Sekitar Hutan
Aktivis lingkungan menyatakan bahwa militerisasi kawasan hutan ini terlihat jelas dari struktur Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan.
Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Perpres ini bertujuan membenahi tata kelola hutan dan menghalau aktivitas ilegal di wilayah perhutanan. Namun, Perpres itu menuai kritikan dari sejumlah aktivis lingkungan, terutama terkait pendekatannya yang dinilai militerisme dalam penertiban kawasan hutan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menyatakan bahwa militerisasi kawasan hutan dapat menjadi ancaman bagi masyarakat yang selama ini hidup dan beraktivitas di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Aspek militer, kata Uli, terlihat jelas dari struktur Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan. Dalam struktur tersebut, ketua dan wakil ketuanya diisi oleh anggota TNI dan Polri.
Adapun Satgas Penertiban Kawasan Hutan berada langsung di bawah koordinasi Presiden. Struktur organisasi Satgas mencakup Pengarah yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Selain itu, Perpres yang mulai berlaku sejak 21 Januari 2025 ini juga menyamakan aktivitas legal yang korporasi lakukan di kawasan hutan dengan masyarakat. Padahal, selama ini, kata Uli, masyarakat di sekitar hutan justru kerap terjebak dalam konflik tenurial (penetapan kawasan hutan sepihak) dan agraria dengan perusahaan-perusahaan pemegang izin.
"Perpres ini bisa bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 11 ayat (4)," ujar Uli dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (25/1).
Adapun pasal yang dirujuk Uli menyatakan bahwa masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan dan menebang kayu untuk keperluan sendiri dan bukan untuk tujuan komersial hanya perlu mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai peraturan.
Menurut Uli, Perpres itu seharusnya tidak menyentuh masyarakat sekitar hutan yang proses pengukuhan kawasan hutan mereka belum selesai. Tidak boleh juga menyasar masyarakat yang tengah berkonflik dengan korporasi pemegang izin usaha hutan.
“Harusnya Perpres itu menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan,” kata Uli .
Sementara itu, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan militerisme atas nama penertiban kawasan hutan ini berpotensi menambah daftar panjang tindakan represif negara terhadap masyarakat adat dan lokal yang selama ini hidup dan beraktivitas di sekitar hutan. Hal ini seperti yang sudah terjadi di pusaran proyek food and energy estate di Merauke, Papua Selatan.
"Dengan struktur satgas yang problematik ini, kita patut mempertanyakan komitmen dan transparansi pemerintah untuk menertibkan dan melindungi kawasan hutan,” kata Leonard, dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (25/1).
Leonard menduga penerbitan Perpres tersebut sebagai langkah untuk mengalihfungsikan 20 juta hektare hutan demi swasembada pangan dan energi. Hal ini memicu kekhawatiran terhadap komitmen iklim dan biodiversitas Indonesia.
Leonard mengatakan alih fungsi ini mengancam lingkungan, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati, dan merugikan masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Pembukaan lahan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk memicu kebakaran dan kabut asap, terutama di lahan gambut.
Pentingnya Keterbukaan Informasi
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman menyampaikan pentingnya keterbukaan informasi publik mengenai perusahaan-perusahaan yang beroperasi ilegal di kawasan hutan. Menurutnya, hal ini sangat penting agar Perpres ini benar-benar menargetkan penertiban izin-izin konsesi perusahaan “nakal” yang ada di kawasan tersebut.
“Kekhawatiran kami, jangan sampai Perpres itu malah menjadi alat untuk melegitimasi resettlement (pemindahan) masyarakat adat yang mendiami kawasan secara turun-temurun berdasarkan hukum adat, tetapi diklaim secara sepihak oleh negara sebagai kawasan hutan negara,” ujar Arman.
Ia juga menyoroti bahwa Perpres ini harus dibaca bersama dengan proses penetapan kawasan hutan yang sedang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan. Proses tersebut sering mendapat perlawanan dari masyarakat adat. Sebab, tidak melibatkan mereka secara partisipatif, alih-alih mengedepankan prinsip free, prior, and informed consent atau FPIC.