Meredam "memanasnya" konflik manusia dengan buaya di Bangka Belitung
Konflik antara manusia dan buaya di Bangka Belitung (Babel) dinilai semakin "memanas" dalam beberapa tahun ...
Pangkalpinang (ANTARA) - Konflik antara manusia dan buaya di Bangka Belitung (Babel) dinilai semakin "memanas" dalam beberapa tahun terakhir. Serangan buaya terhadap manusia maupun hewan ternak semakin sering terjadi, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan rasa was-was di masyarakat.
Fenomena konflik ini tidak hanya dapat mengancam keselamatan warga, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang keseimbangan ekosistem dan upaya konservasi buaya di wilayah tersebut.
Kasus buaya menerkam manusia semakin sering menjadi pembicaraan warga setempat baik di warung kopi hingga obrolan di media sosial. Kantor Pencarian dan Pertolongan (SAR) Pangkalpinang mencatat empat kejadian di awal tahun ini, yakni dua kejadian di Januari dan dua kejadian di awal Februari 2025.
Kejadian terakhir kali, seorang pemancing udang di Sungai Kabal, Desa Sebagin, Bangka Selatan, dinyatakan hilang, diduga diterkam buaya ganas di sungai tersebut, pada Jumat (7/2) siang. Keesokan harinya, pada Sabtu ( 8/2) pemancing tersebut ditemukan meninggal dunia dengan luka gigitan di kepala dan tulang rusuk.
Peristiwa lainnya, seorang anak berumur 7 tahun asal Pangkalpinang yang sedang bermain pasir di pinggir sungai dekat Muara Pangkalbalam juga menjadi korban keganasan buaya pada Minggu (2/2) lalu. Anak yang ikut orang tuanya memancing ini baru ditemukan tiga hari kemudian, atau Selasa (4/2), dalam keadaan meninggal dunia.
Semakin "sengitnya" konflik manusia dengan buaya ini tampaknya perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan yang ada di Bangka Belitung.
Kepala Kantor SAR Pangkalpinang I Made Oka Astanawa mengakui ada peningkatan yang signifikan konflik manusia dengan buaya akhir tahun ini. Baru dua bulan sudah ada empat , sedangkan dalam satu tahun sebelumnya ada 10 kejadian.
Untuk itu, pihak Basarnas meminta masyarakat yang sering beraktivitas di sungai maupun rawa-rawa untuk berhati-hati karena ancaman buaya yang semakin meningkat.
Alasan menyerang
Buaya merupakan hewan yang hidup di daerah perairan seperti sungai, rawa, dan muara. Alasan buaya menyerang manusia, biasanya karena berburu makanan, mempertahankan wilayah, serta mempertahankan sarang atau anaknya.
Beberapa serangan yang dilakukan buaya di antaranya karena merasa terpojok, sehingga buaya ini melakukan serangan pada apa yang berada dalam wilayah serangannya.
Bangka Belitung yang terkenal dengan kekayaan alam, yakni sumber daya alam timah, telah mendorong masyarakat tidak melakukan penambangan yang masif sehingga mengancam habitat buaya. Tidak sedikit para penambang timah juga menjadi korban buaya pada beberapa waktu lalu, yakni penambang timah di Sungai Cerucuk, Desa Badau, Kabupaten Belitung.
Selain itu, pembangunan infrastruktur dan alih fungsi lahan di Bangka Belitung dinilai juga memberi andil dalam mengubah habitat alami buaya. Akibatnya, buaya terdesak dan mencari tempat baru yang seringkali berdekatan dengan permukiman manusia.
Bangka Belitung dikenal sebagai daerah kepulauan dengan garis pantai yang panjang. Aktivitas manusia seperti nelayan, wisatawan, dan pembangunan resort pantai semakin meningkat. Hal ini membuat interaksi antara manusia dan buaya semakin sering, terutama di daerah pesisir yang menjadi habitat buaya.
Masih banyaknya manusia jadi korban buaya, karena banyak masyarakat yang belum memahami perilaku dan habitat buaya. Beberapa kasus konflik terjadi karena masyarakat tidak waspada saat beraktivitas di daerah rawan buaya, seperti sungai atau rawa. Kurangnya edukasi tentang cara menghindari konflik dengan buaya juga menjadi faktor penyebab.
Untuk itu, perlu adanya edukasi, terutama nelayan atau masyarakat yang tinggal di dekat perairan agar bisa terhindar dari serangan buaya. Serangan hewan reptil ini, selain mengakibatkan korban jiwa, juga dapat menimbulkan ketakutan dan keresahan di kalangan masyarakat.
Serangan buaya dapat mengganggu aktivitas ekonomi, terutama di sektor perikanan dan pariwisata. Nelayan menjadi enggan melaut, sementara wisatawan mungkin menghindari daerah yang dikenal sebagai habitat buaya. Hal ini berdampak pada pendapatan masyarakat setempat.
Di sisi lain, konflik ini juga mengancam kelestarian buaya, karena banyak binatang reptil ini yang dibunuh atau ditangkap secara ilegal sebagai bentuk balas dendam atau pencegahan. Jika tidak dikelola dengan baik, populasi buaya di Bangka Belitung bisa terancam punah.
Solusinya, pemerintah dan lembaga terkait perlu melakukan pemetaan habitat buaya secara detail. Dengan mengetahui daerah-daerah yang menjadi habitat buaya, dapat dibuat zonasi yang jelas untuk memisahkan aktivitas manusia dan buaya. Hal ini juga dapat membantu dalam perencanaan pembangunan yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan edukasi tentang cara hidup berdampingan dengan buaya. Sosialisasi tentang perilaku buaya, tanda-tanda keberadaan buaya, dan langkah-langkah pencegahan serangan dapat mengurangi risiko konflik. Masyarakat juga perlu diingatkan agar tidak membuang sampah atau limbah ke perairan, karena dapat menarik perhatian buaya.
Untuk mengurangi interaksi langsung antara manusia dan buaya, pemerintah dapat membangun fasilitas penangkaran buaya. Buaya yang ditangkap atau ditemukan di pemukiman manusia dapat dipindahkan ke penangkaran yang aman. Hal ini juga dapat menjadi sarana edukasi bagi masyarakat tentang pentingnya melestarikan buaya.
Berbagai penanganan konflik manusia dengan buaya ini harus melibatkan semua pihak, sehingga ke depannya tidak ada cerita lagi korban berjatuhan akibat ganasnya serangan binatang reptil ini.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025