Pengemplang Pajak Dapat Tax Amnesty, Kelas Menengah Justru Terbebani PPN 12%
Rencana pemerintah menggelar tax amnesty jilid III menuai kritik karena memberi keringanan pada orang kaya, sementara masyarakat kelas menengah ke bawah terbebani tarif PPN 12%.
Rencana pemerintah untuk menggelar program pengampunan atau tax amnesty jilid III menuai kritik. Karena pemerintah akan memberi keringanan bagi pengemplang pajak, yang sering kali dari kelompok orang kaya dan korporasi besar.
Sementara kelas menengah hingga kelas menengah bawah justru terbebani Pajak Pertambahan Nilai () 12% yang akan diterapkan pada 2025. Padahal, daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi kini tengah melambat.
Adapun rencana pengampunan pajak terungkap dari hasil rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas yang digelar Baleg DPR, pada Senin (18/11). Berdasakan hasil rapat tersebut, program pengampunan pajak ini masuk daftar draft usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.
Direktur Eksekutif Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kebijakan tax amnesty jilid III bisa menjadi keputusan yang ceroboh jika pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan pajak.
“Rasio pajak sudah terbukti tidak naik setelah tax amnesty jilid I dan II. Apa pengaruhnya tax amnesty? Jelas tidak ada,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa (19/11).
Menurut Bhima, pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan bisa membuat kepatuhan pajak orang kaya dan korporasi besar justru turun. Hal itu membuat pengemplang pajak berasumsi setelah tax amnesty III akan ada program serupa.
“Ini moral hazard-nya besar sekali. Bukannya mengejar kepatuhan pajak dan pencocokan data aset dari hasil tax amnesty sebelumnya, ini malah membuat tax amnesty jilid III,” ujar Bhima.
Padahal, pengusaha sudah menikmati tarif pajak penghasilan atau PPh badan yang terus menurun. Belum lagi, pada tahun depan tarif PPh badan turun dari 22% ke 20%.
Di sisi lain, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% juga akan menciptakan pelemahan daya beli kelas menengah ke bawah dan pelaku usaha juga terpukul.
Tak hanya itu, Bhima juga melihat dampak kenaikan PPN ini bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal baik, di sektor ritel dan industri pengolahan. “Di mana letak keadilan pajaknya?” kata Bhima.
Bisa Menekan Daya Beli Masyarakat
Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai, kenaikan PPN menjadi 12% bakal berimbas pada penurunan daya beli kepada masyarakat.
"Karena perusahaan penyedia barang jasa, biasanya tidak mau menanggung PPN, sehingga mereka mengalihkan beban kenaikan PPN ini ke konsumen dengan cara menaikkan harga," ujar Ronny.
Sejumlah barang akan dikenakan PPN 12%, seperti elektronik, fesyen hingga otomotif ini bisa berdampak pada penjualan. Hal ini juga berlaku untuk barang yang rutin dikonsumsi masyarakat.
Sementara saat ini, pemerintah belum memutuskan upah minimum provinsi (UMP) pada 2025. Ia pun berharap penetapan upah tahun 2025 turut memperhatikan inflasi sebagai salah satu komponen dalam UMP.
Sebab, kenaikan harga barang dan jasa jika tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan masyarakat, bisa semakin menekan permintaan terhadap produksi barang dan jasa serta berimbas dari sisi produksi.
"Kenaikan (PPN menjadi 12%) yakan menambah tekanan daya beli kepada kelas menengah dan kelas menengah ke bawah, di mana pendapatan mereka sangat-sangat tertekan dalam dua tahun terakhir sejak pasca pandemi," katanya.
Diminta Menunda Kebijakan PPN 12%
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal merekomendasikan penundaan kebijakan PPN 12% guna mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
"Ditunda mestinya, jadi ini bukan waktu yang tepat kalau kita berbicara masalah mengatasi kesenjangan ekonomi pada saat sekarang, dan juga target pertumbuhan ekonomi mau lebih tinggi," ujar Faisal.
Faisal memperingatkan pemerintah bahwa barang-barang seperti elektronik, perlengkapan rumah tangga, furnitur akan mengalami penurunan penjualan jika dikenakan PPN 12%.
Padahal, barang-barang tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh kelas menengah, yang total nilai konsumsinya mencapai 84%. Untuk itu, pemerintah perlu mempertahankan agar nilai konsumsi kelas menengah tetap berada pada angka tersebut atau naik.
"Bagaimana pertumbuhan ekonomi bisa tercapai lebih tinggi kalau konsumsi rumah tangga justru lebih lambat dan 84% dari konsumsi domestik yang disumbangkan oleh kelas menengah dan aspiring middle class (calon kelas menengah) gitu," katanya.
Dia menilai, penurunan daya beli atau perlambatan pertumbuhan konsumsi masyarakat tidak hanya disebabkan oleh kenaikan PPN, tetapi juga adanya hasil kumulatif dari kebijakan lain.
"Jadi kalau iuran BPJS kesehatan juga naik, subsidi energi juga dipangkas pada saat yang sama, itu yang efeknya jadi lebih besar," ucap Faisal.