Sejarah Masjid Salman ITB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institut Teknologi Bandung (ITB) pada dasawarsa 1960-an lekat dengan kesan “sekuler.” Bahkan, mahasiswa yang mengenakan simbol-simbol Islam--seperti Muslimah mengenakan kerudung--cenderung dicap "kuno" atau bahkan "radikal." Warga ITB yang...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institut Teknologi Bandung (ITB) pada dasawarsa 1960-an lekat dengan kesan “sekuler.” Bahkan, mahasiswa yang mengenakan simbol-simbol Islam--seperti Muslimah mengenakan kerudung--cenderung dicap "kuno" atau bahkan "radikal."
Warga yang hendak shalat Jumat harus jauh-jauh berjalan ke Jalan Cihampelas. Meskipun kehadiran masjid sebuah kebutuhan yang jelas, rektor ITB saat itu, Prof Otong Kosasih, masih tampak ragu-ragu.
Kalangan aktivis Muslim tidak gamang. Pada 1958, Prof Tubagus Sulaiman membentuk Panitia Pembina Masjid ITB. Di dalamnya, duduk para insan aktivis dan tokoh Muslim setempat. Misalnya, 'Imaduddin Abdulrahim (Bang ‘Imad), Achmad Sadali, dan Mahmud Junus.
Mereka menggalang dukungan dari rupa-rupa pihak yang berkompeten. Meski tanah lokasinya belum dipastikan, gambar desain masjid itu sudah dibuat dengan baik oleh Ir Ahmad Noe’man.
Pada 1963, kepanitiaan ini menghadap Presiden Sukarno yang didampingi menteri agama waktu itu, Saifuddin Zuhri. Hadirin antara lain Prof Sulaiman, Ir Achmad Noe’man, Achmad Sadali, dan Ajat Sudrajat. Bung Karno akhirnya merestui pendirian rumah ibadah itu. Obrolan lalu berlanjut pada soal nama yang hendak dipakai.
“Siapa itu sahabat yang menggali parit pada saat Perang Khandaq?” tanya Presiden Sukarno sambil menoleh pada Menteri Agama. Yang ditanya pun menjawab sigap, “Salman al-Farisi.”
“Nah itu,” kata Bung Karno, “Masjid ini saya namakan: Salman!”
Sumber lainnya berasal dari buku yang disunting Jimly Asshiddiqie dkk, Bang ‘Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya (2002). Pada 1963, kepanitiaan berubah bentuk menjadi Yayasan Pembina Masjid Kampus ITB.
Loading...