Surabaya (ANTARA) - Menyandingkan masalah urgensi kesehatan
dengan nasib Industri Hasil Tembakau (IHT) di Jawa Timur (Jatim)
memang bukan masalah yang sederhana. Apalagi,
kontribusi pertembakauan terhadap perputaran roda
perekonomian di provinsi ini cukup signifikan.Provinsi Jatim yang
berpenduduk sekitar 41 juta jiwa ini memiliki beragam kekayaan
alam. Daerah ini menjadi penyokong bagi ketahanan perekonomian
Indonesia. Perekonomian Jatim pada triwulan III-2024 tumbuh
1,72 persen atau mencapai 4,91 persen secara tahunan.Di
antara banyaknya potensi tersebut, salah satu yang mendukung
ketangguhan perekonomian Jatim adalah keberadaan
Industri Hasil Tembakau (IHT), yakni sekitar 33 persen dari
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Provinsi ini merupakan
sentra produk tembakau di Indonesia. Sejumlah daerah penghasil
tembakau di daerah ini di antaranya Madura, Pasuruan,
Probolinggo, Pasuruan, Jombang, dan Jember. Produksi tembakau
yang dihasilkan berkontribusi 43,9 persen terhadap produksi
tembakau nasional.Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika IHT Jatim mampu menjadi salah satu kontributor
perekonomian nasional dari segala aspek mulai dari sisi tenaga
kerja hingga penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT).Berdasarkan
catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim,
pada tahun lalu terdapat kurang lebih 537 perusahaan sigaret
dengan produksi mencapai 195 miliar batang.Proses
pengolahan dan produksi tembakau di Jatim menyerap lebih dari
90.000 tenaga kerja. Bahkan industri pengolahan tembakau ini
turut melibatkan 387.000 petani tembakau dan cengkeh.Dari capaian
produksi dan tingkat keterserapan tenaga kerja di sektor
IHT yang mencapai 40 persen secara nasional itu, maka
menjadikan Jatim mampu berkontribusi sekitar 61 persen terhadap
total penerimaan cukai secara nasional.Setoran CHT Jatim pada
tahun lalu sebesar Rp129,96 triliun, sedikit mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp133,76 triliun,
karena di antaranya disebabkan oleh kebijakan kenaikan
cukai rata-rata 10 persen.
Nasib IHTPemerintah dalam
beberapa tahun terakhir sangat fokus terhadap kesehatan
masyarakat, termasuk dengan menekan angka perokok aktif di
Indonesia. Upaya itu di antaranya dilakukan dengan menaikkan
cukai rokok yang ternyata cukup mempengaruhi IHT.Kebijakan
kenaikan cukai rokok terakhir kali dikeluarkan pada 2022,
yakni cukai rokok naik rata-rata 10 persen untuk dua tahun
(
multiyears) atau untuk 2023-2024. Dalam penerapannya,
langkah itu ternyata telah berdampak terhadap penurunan CHT
Jatim.Pada awalnya, cukai rokok akan kembali naik pada tahun
depan, namun beberapa waktu lalu Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indarwati memutuskan untuk menunda implementasi kebijakan
tersebut.Keputusan itu memberi angin segar kepada IHT.
Tapi, hal itu hanya dirasakan sekejap lantaran pemerintah
kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun
2024 tentang Kesehatan sebagai upaya keberlanjutan dalam menjaga
kesehatan masyarakat.Pelaku IHT kini risau dengan nasibnya. Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur mencatat terdapat beberapa
pasal yang memberatkan dalam PP tersebut, di antaranya adalah
pasal 435 mengenai standardisasi kemasan, pasal 431 tentang
pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional, serta soal
ketentuan jarak pemasangan iklan rokok dengan sekolah dan taman
bermain.Pasal 435 mengarahkan pada implementasi kemasan polos
yang artinya dalam waktu dekat seluruh produk IHT baik rokok
konvensional maupun elektrik tidak diperbolehkan memiliki desain
ataupun merek di kemasan.Melalui PP itu, nantinya desain boks
rokok harus polos dengan gambar peringatan bahaya merokok menjadi
50 persen dan warna boks harus sama. Pasal 435 mengatur
logo perusahaan IHT pada kemasan rokok harus berukuran kecil
dengan
font yang sama.Keputusan melalui PP 28/2024
tersebut tidak selaras dengan posisi Pemerintah Indonesia yakni
menjadi salah satu negara yang tidak meratifikasi konvensi
pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC) dengan kemasan polos.Ketua Umum Kadin Jatim Adik
D. Putranto menjelaskan implementasi kemasan rokok polos akan
membawa beberapa dampak, seperti hilangnya ciri khas yang
dimiliki oleh masing-masing perusahaan IHT pada kemasan rokok
yang telah melekat di tengah masyarakat selama ini.Hilangnya ciri
khas itu akan melemahkan daya saing produk tembakau resmi, hingga
akhirnya membuka pintu lebar bagi pelaku usaha tembakau ilegal
dalam menggunakan kesempatan ini untuk menjual produk yang tidak
patuh aturan secara lebih luas.Bahkan bukan tidak mungkin,
konsumen akan beralih kepada produk rokok ilegal karena
kemasannya yang lebih menarik serta harga yang lebih murah. Pada
akhirnya IHT legal semakin melemah.Sebagai contoh, Australia
sebagai negara pertama yang menerapkan kemasan polos atau
plain packaging memiliki peredaran barang kena cukai (BKC)
ilegal per 2023 mendekati 30 persen karena adanya peraturan
itu.Aturan lain dalam PP 28/2024 yang juga menjadi perhatian
pelaku IHT adalah pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin
pada rokok konvensional yang dinilai akan menghilangkan karakter
produk tembakau khas Indonesia yaitu kretek.Ketua Gabungan
Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan pasal
tersebut akan berpengaruh terhadap serapan tembakau lokal yang
menjadi sumber mata pencaharian jutaan petani di Indonesia.Ketika
pasal 431 diterapkan dikhawatirkan akan mempengaruhi penyerapan
petani lokal dan tenaga kerja lantaran pemberhentian atau
pemecatan sangat mungkin dilakukan oleh pelaku IHT.Tak hanya itu,
pemerintah melalui PP 28/2024 pun turut melarang penjualan rokok
dalam radius 200 meter dan pemasangan iklan rokok dalam radius
500 meter dari satuan pendidikan.Ketua Paguyuban Pemilik Warung
Kopi Surabaya Hussein Gozali menilai aturan itu sangat
diskriminatif bagi pelaku usaha dan pedagang kecil.
Implementasinya akan menekan pendapatan pedagang kecil karena
selama ini penjualan rokok menjadi salah satu sumber keuntungan
terbesar bagi mereka.
Pelibatan seluruh pihakSelama ini,
sebagai salah satu provinsi dengan IHT terbesar di Indonesia,
Jatim menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)
sebesar 3 persen atau Rp2,7 triliun dari total penerimaan negara
dari DBHCHT sebesar Rp129 triliun.DBHCHT yang diterima oleh Jatim
sebesar Rp2,7 triliun ini dibagikan kembali kepada 38
kabupaten/kota sedangkan untuk provinsi hanya Rp700
miliar.Penjabat (Pj.) Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono mengatakan
DBHCHT sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dari Rp700 miliar yang
diterima oleh provinsi selanjutnya digunakan untuk mendukung
keberlangsungan beragam lapisan masyarakat.Secara rinci, sebanyak
50 persen untuk kesejahteraan masyarakat, 40 persen untuk
kesehatan, dan sisanya untuk penegakan hukum rokok ilegal.Manfaat
DBHCHT bisa dirasakan oleh banyak lapisan masyarakat seperti
melalui pemberian akses modal kepada orang miskin yang memiliki
kemampuan berwirausaha.Selain itu, DBHCHT juga dapat digunakan
untuk mewujudkan kepesertaan BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan mencapai 100 persen sehingga sesuai dengan target
Universal Health Coverage (UHC).Di sisi lain, adanya potensi efek
domino dari penerapan PP 28/2024 terhadap IHT Jawa Timur
berpotensi menekan bahkan menghilangkan DBHCHT yang didapat
provinsi ini.Hal itu lantaran daerah yang berhak menerima DBHCHT
adalah provinsi penghasil cukai dan/atau tembakau, sehingga
apabila IHT Jatim semakin merugi akhirnya provinsi ini tidak akan
menerima DBHCHT.Tak hanya kesejahteraan masyarakat setempat yang
terdampak dari tertekannya IHT Jatim seiring hilangnya DBHCHT,
bahkan penerimaan negara juga akan sangat terpengaruh.Oleh sebab
itu, perumusan dan penerapan suatu kebijakan termasuk PP 28/2024
perlu benar-benar mempertimbangkan adanya dampak panjang yang
tidak hanya menekan satu aspek melainkan juga berpotensi
mempengaruhi aspek lainnya.Keterlibatan berbagai pihak sangat
diperlukan, khususnya mereka-mereka yang akan terpengaruh oleh
suatu kebijakan. Dalam hal ini, pemerintah khususnya mengenai PP
28/2024 harus mempertimbangkan seluruh kepentingan masyarakat
luas.Bukan hanya IHT saja, namun juga masyarakat yang selama ini
menggantungkan hidupnya dari bantuan yang berasal dari DBHCHT.
Langkah ini demi mewujudkan sila kelima dalam Pancasila yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Menjaga kesehatan
masyarakat dan mempertahankan keberlanjutan IHT memang memerlukan
kebijakan yang hati-hati dan seimbang. Tidak ada solusi tunggal,
tetapi melalui kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan
masyarakat. Dengan demikian, diharapkan akan bisa menemukan cara
untuk mengurangi dampak buruk tembakau bagi kesehatan seraya
tetap menjaga keberlanjutan ekonomi daerah.
Copyright © ANTARA 2024