Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 12 warga negara Indonesia yang diduga
menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) saat ini
masih tertahan di kantor yang berada di wilayah konflik Myawaddy,
Myanmar."Anak saya yang berusia 22 tahun bersama 11
WNI lainnya masih berada di Myanmar," kata RD, ayah salah
satu korban, saat dihubungi ANTARA di Jakarta pada Minggu
malam.RD mengungkap bahwa anaknya bekerja selama lebih dari 12
jam (jam 4 sore-9 pagi) setiap harinya, tidak mendapatkan upah
dan terkadang mendapatkan sanksi fisik seperti angkat galon
selama 1 jam apabila tidak memenuhi target pekerjaan."Pernah satu
malam dipenjara dengan kondisi dilarang tidur, tidak mendapat
makanan dan terjadi kekerasan fisik yang menyebabkan memar serta
bengkak. Setelah itu dibebaskan dan bekerja lagi," kata RD
menjelaskan adanya ruang penahanan bagi karyawan yang tidak
mencapai target.RD mengungkap awal kronologi yang akhirnya
membawa sang anak ke Myanmar. Mulanya sang anak mencari pekerjaan
melalui media sosial Facebook dan dijanjikan posisi administrasi
di sebuah restauran. Setelah diterima kerja, dia kemudian
dimasukkan ke dalam grup Telegram yang berisi para calon pekerja.
"Anak saya juga mengajak keponakan yang juga mencari pekerjaan,"
katanya.Kedua belas orang itu lantas dijadwalkan terbang ke
Thailand pada 11 Agustus, namun gagal berangkat lantaran dokumen
seperti surat izin untuk bekerja belum lengkap. Mereka pun
diminta oleh pihak perusahaan untuk mencari penginapan di sekitar
Bandara Soekarno Hatta dan ditransfer uang ke salah satu korban
untuk biaya penginapan dan makan.Pada 14 Agustus akhirnya mereka
berangkat pada pukul 06.00 WIB dan tiba di Bangkok pada
pukul 09.30 waktu setempat lalu dijemput oleh oknum agensi."Anak
saya mengabari sudah sampai dan besok akan urus surat-surat. Nada
suaranya seperti tertekan, karena katanya diawasi saat
menelepon," kata RD.Sejak malam itu hingga sepekan kemudian, dia
tidak mendapat kabar dari sang anak karena HP-nya mati dan baru
dapat komunikasi kembali sekitar 25 atau 27 Agustus dengan
menggunakan HP yang mereka rahasiakan dari perusahaan. "Kondisi
mereka tidak baik-baik saja dan membutuhkan pertolongan. Minta
dihubungi KBRI," ucapnya.Mengetahui kondisi demikian, RD pun
langsung meminta
share location kepada sang anak dan
kemudian melapor ke KBRI Thailand. Menurut KBRI, di sekitar
Thailand sudah tidak ada lagi perusahaan
scammer dan
pihaknya memastikan bahwa para WNI itu berada di Myanmar,
yang lokasinya berseberangan dengan Thailand.RD juga menghubungi
KBRI Yangon di Myanmar dan mendapat penjelasan bahwa daerah yang
dimaksud adalah kawasan konflik kekuasaan pemberontak serta tidak
semudah menjemput di negara lain.RD menambahkan bahwa sejauh ini
dirinya telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri RI
bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dalam upaya
pembebasan anaknya bersama
WNI lain yang
ditahan di Myanmar.Sementara itu, sang kakak berinisial H
berharap agar instansi terkait dapat membantu memulangkan
keluarganya yang menjadi korban dari penipuan kerja di luar
negeri dan dipekerjakan di
scam online."Supaya
keluarga kami dapat dijemput dan dipulangkan ke Indonesia. Itu
saja harapan kami," tambah dia.
Baca
juga: Baca juga:
Pewarta: Asri Mayang Sari, Cindy Frsihanti
Editor: Bayu Prasetyo
Copyright © ANTARA 2024