GPEI Minta Pemerintah Tidak Menerapkan Simpan Devisa Hasil Ekspor 100 Persen dalam Negeri, Ini Arti DHE
Pemerintah memastikan kebijakan wajib parkir devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam 100 persen dimulai pada Maret 2025. Apa yang dikritisi GPEI?
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (), Benny Soetrisno, meminta pemerintah tidak menerapkan kebijakan penyimpanan (DHE) sebesar 100 persen di dalam negeri selama satu tahun secara merata. Menurutnya, setiap sektor memiliki siklus usaha yang berbeda.
Jika kebijakan ini diberlakukan tanpa mempertimbangkan perbedaan tersebut, perusahaan dapat mengalami kesulitan modal, yang pada akhirnya merugikan pemerintah melalui penurunan penerimaan pajak. Benny menyampaikan hal ini di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2025.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk memperkuat cadangan devisa dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Namun, ia menekankan bahwa setiap komoditas memiliki siklus perdagangan yang bervariasi, mulai dari satu hingga enam bulan. Penahanan saat arus kas perusahaan terganggu akan berdampak pada hilangnya modal.
Dalam aturan baru, pemerintah mewajibkan eksportir menyimpan DHE sektor sumber daya alam dengan nilai transaksi minimal US$ 250 ribu, sementara eksportir kecil dibebaskan dari kewajiban ini agar tetap kompetitif.
Mengenal Devisa Hasil Ekspor (DHE)
Devisa Hasil Ekspor (DHE) memiliki peran strategis dalam perekonomian domestik. Berdasarkan PMK 73/2023, devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan untuk transaksi internasional. Sementara itu, DHE didefinisikan sebagai devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor barang, khususnya yang berasal dari pengusahaan, pengelolaan, atau pengolahan sumber daya alam (SDA) seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Aturan mengenai DHE ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.
Kegiatan ekspor sendiri didefinisikan sebagai proses mengeluarkan barang dari wilayah pabean. Para pelaku ekspor, atau eksportir, bisa berupa individu, badan usaha, atau lembaga tertentu yang memiliki atau tidak memiliki status badan hukum.
Untuk memfasilitasi kegiatan ekspor, eksportir diwajibkan menggunakan Rekening Khusus DHE SDA yang disimpan di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau bank yang memiliki izin beroperasi dalam valuta asing. Bank tersebut harus mendapat persetujuan OJK, tetapi tidak mencakup kantor cabang luar negeri bank yang berkantor pusat di Indonesia. Selain itu, eksportir juga harus melaporkan kegiatan ekspor melalui Pemberitahuan Pabean Ekspor (PPE) sesuai aturan kepabeanan.
Manfaat devisa bagi negara mencakup beberapa hal penting. Pertama, devisa berfungsi sebagai alat transaksi dalam perdagangan internasional, seperti aktivitas ekspor dan impor. Contohnya, ketika Indonesia membeli mesin dari Jerman, devisa digunakan sebagai alat pembayaran.
Kedua, devisa menjadi sarana membangun hubungan internasional, termasuk mendukung aktivitas diplomasi, perjalanan dinas, pemberian sumbangan internasional, hingga pembiayaan beasiswa luar negeri. Ketiga, devisa digunakan untuk membayar utang luar negeri atau menerima piutang dari negara lain. Keempat, devisa menjadi sumber kekayaan negara yang penting untuk pembangunan nasional dan peningkatan ekonomi.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa aturan mengenai DHE bertujuan untuk meningkatkan likuiditas valuta asing dalam negeri dan mendukung jasa keuangan. Hal ini dilakukan sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan pemanfaatan SDA untuk kesejahteraan rakyat dan ketahanan ekonomi nasional.
Pada 2022, potensi optimalisasi DHE dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan mencapai USD203 miliar atau 69,5 persen dari total ekspor. Dengan aturan yang mewajibkan 30 persen DHE SDA disimpan dalam Sistem Keuangan Indonesia (SKI), likuiditas valas yang tersedia di dalam negeri bisa mencapai USD60,9 miliar per tahun.
Hani Revanda dan Riani Sanusi Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: