Jakarta (ANTARA) - Korps Alumi Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
Eropa Raya menilai perlunya pemerintah berbagai negara
meningkatkan upaya-upaya diplomasi untuk mengantisipasi kebijakan
anti-Muslim dari Presiden terpilih AS Donald Trump.Dalam Kajian
Jumat Eropa yang diselenggarakan secara daring oleh KAHMI Eropa,
dipaparkan bagaimana pidato-pidato Trump selama periode pertama
pemerintahannya pada 2017-2021 mengindikasikan kebencian dan
anggapan bahwa Muslim adalah ancaman.“Sejak tahun 2011 bahkan
kita sudah mendengar bagaimana Presiden Trump melalui pidatonya
menyatakan kepercayaannya tentang Islam yang dianggap membenci
Amerika, sehingga diyakini sebagai ancaman bagi negara adidaya
tersebut,” kata Muhammad Vicky Afris Suryono, mahasiswa Master
Sociology of Law, Lund University, Swedia, selaku narasumber
diskusi.Ia juga menganalisis persona anti-Muslim Trump dilihat
dari sudut pandang sosial-kognitif."Dari sudut pandang
sosial-kognitif, Trump menggambarkan sosok yang anti-Muslim baik
dari sisi
moral foundation yang dibangun, preferensi
tatanan sosial,
selective exposure, dan ancaman bagi
identitas kolektif Amerika," ujar Vicky.Lebih lanjut, Vicky
menjelaskan pentingnya untuk tidak terjebak pada dikotomi
epistemologi Barat terhadap Islam, terlebih dalam isu-isu
diskriminasi dan penindasan terhadap umat Muslim.“Kita telah
terperangkap dalam epistemologi Barat dengan menggolongkan Islam
sebagai sayap kiri atau sayap kanan, yang telah menimbulkan
dilema dalam memahami fenomena ini. Sebaiknya kita memandang
Islam sebagai satu kesatuan,” kata Ketua (Perhimpunan Pelajar
Indonesia) PPI Swedia tersebut.Dari sudut pandang Muslim di
Eropa, katanya, kemenangan Trump dikhawatirkan membangkitkan
momentum partai-partai sayap kanan di Eropa yang akan berujung
pada meningkatnya intensitas Islamofobia di Eropa.Di sisi lain,
ada juga anggapan bahwa siapapun Presiden Amerika yang terpilih,
tidak akan begitu berpengaruh mengingat kedua partai besar di
Amerika sama-sama tidak pro terhadap Muslim.Terlebih lagi,
negara-negara Islam di Timur Tengah sudah tidak sepenuhnya
tergantung pada AS."Memang secara jumlah, Muslim adalah minoritas
di Eropa. Muslim di Eropa yang didominasi dari negara-negara
Timur Tengah, merupakan korban perang dan memiliki citra
'low
class'. Namun, dengan mengedepankan prestasi akademis
misalnya, kita bisa berperan serta mengubah citra Muslim di
Eropa,” kata Vicky.Diskusi yang dihadiri oleh seluruh anggota
Majelis Perwakilan KAHMI Eropa Raya dari berbagai negara di Eropa
ini ditutup dengan pandangan yang sama oleh semua yang hadir,
bahwa persiapan dalam antisipasi terhadap Islamofobia, khususnya
di Eropa, perlu dilakukan.Upaya-upaya anggota MP KAHMI Eropa raya
dalam membangun citra positif sebagai bagian dari wajah Muslim di
Eropa perlu terus ditingkatkan, baik di lingkungan kampus maupun
dengan masyarakat di negara tempat tinggal masing-masing.“KAHMI
Eropa Raya akan terus melihat perkembangan kebijakan-kebijakan
Presiden Trump selama seratus hari ke depan dalam kaitan dengan
dampaknya terhadap umat Muslim di Eropa. Pemerintah melalui
kekuatan diplomasinya diharapkan mampu memainkan perannya untuk
memastikan Islamofobia tidak bangkit dan berkembang,” kata Ketua
MP Kahmi Eropa Raya Choirul Anam.Lebih lanjut dia mengatakan
bahwa Kajian Jumat Eropa merupakan upaya kolektif KAHMI di
berbagai negara di Eropa untuk memperkuat wajah Muslim di Eropa
yang
rahmatan lil alamin."Kami terus berupaya untuk turut
berperan serta menjadi duta-duta Muslim di negara Eropa yang
merepresentasikan Islam yang indah, Islam yang damai, sesuai
dengan Quran dan hadist," kata Anam.
Baca juga:
Baca juga:
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2024