Kronologi Kasus Buron Paulus Tannos dan Korupsi e-KTP
Buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin ditangkap di Singapura. Begini kronologi kasus yang menjeratnya dan menjadi DPO.
TEMPO.CO, Jakarta - Buronan kasus korupsi pengadaan e-KTP, alias Thian Po Tjhin, ditangkap di Singapura. Penangkapannya dilakukan oleh lembaga anti-korupsi Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB). Sebelumnya, Indonesia telah mendeteksi keberadaan Paulus Tannos di Singapura sejak akhir 2024.
"Akhir tahun lalu Divhubinter mengirimkan surat Provisional Arrest Request ke otoritas Singapura untuk membantu menangkap yang bersangkutan karena kami ada info yang bersangkutan di sana," kata Kepala Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri Inspektur Jenderal Krishna Murti pada, Jumat, 24 Januari 2025.
Menanggapi penangkapan Paulus Tannos tersebut. Lantas,bagaimana kronologi kasus Paulus Tannos dan penangkapannya?
Paulus Tannos merupakan tersangka dalam kasus yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kala itu, ia menjabat sebagai Direktur PT Sandipala Arthaputra yang masuk dalam konsorsium pemenang proyek e-KTP bersama Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).
Proyek ini telah dimulai sejak 2006, saat itu Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional.
Perusahaan Paulus Tannos menjadi pemenang dalam tender proyek e-KTP pada 2011. Perusahaan swasta itu dikomandoi oleh Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai koordinator konsorsium. Seperti diketahui, kasus e-KTP menimbulkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun pada periode 2011-2013.
Berdasarkan penyelidikan sejak 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan sejumlah tersangka, seperti pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto. Termasuk pula pihak swasta yang terlibat dalam kasus ini, Paulus Tannos.
Paulus Tannos ditetapkan KPK pada 13 Agustus 2019 berdasarkan hasil pengembangan kasus. Bersama Tannos, pada 2019 KPK juga menetapkan mantan anggota DPR Miryam S Hariyani, mantan Dirut PNRI Isnu Edhi Wijaya, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan E-KTP, Husni Fahmi. KPK menyatakan Paulus Tannos berperan penting dalam kongkalikong pengerjaan proyek e-KTP.
Dia disebut melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor seperti Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik yang juga PNS BPPT, Husni Fahmi, dan Direktur Utama PNRI sekaligus Ketua Konsorsium Perum Percetakan Negara RI atau PNRI Isnu Edhi Wijaya. Pertemuan-pertemuan itu, disebut KPK, menerbitkan peraturan yang bersifat teknis, bahkan sebelum proyek dilelang.
Selain itu, KPK menduga Tannos juga melakukan pertemuan dengan sejumlah tersangka lainnya untuk menyepakati besaran fee 5 persen sekaligus skema pembagian fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kementerian Dalam Negeri. Menurut fakta sidang, perusahaan Tannos diperkaya Rp 145,85 miliar dalam proyek ini.
"Di situ juga disepakati fee sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban fee, yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri," kata Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, pada 13 Agustus 2019.
KPK gagal memeriksa dan menangkap Tannos, karena sebelum ditetapkan tersangka. Lalu pada 2017, Tannos dan keluarganya telah meninggalkan Indonesia dan memilih menetap di Singapura. Paulus Tannos kemudian masuk daftar pencarian orang () atau buron KPK sejak 19 Oktober 2021.
Paulus Tannos disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Paulus Tannos Berganti Kewarganegaraan
Tak berhenti disitu, Tannos sempat berganti kewarganegaraan. Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan tim penyidik sudah mengendus keberadaan Paulus Tannos di sebuah negara. Tapi tidak dirinci, di mana Tannos ditemukan, yang dijelaskan hanya Tannos sudah tidak berstatus warga negara Indonesia.
"Paulus Tannos sebagaimana yang sudah kami sampaikan, KPK sudah menemukannya di luar negeri, kami tidak perlu menyebutkan negaranya, dan kemudian ternyata yang bersangkutan sudah berganti identitasnya dan paspor negara lain di wilayah Afrika Selatan," kata Ali melalui keterangan resminya, Jumat 11 Agustus 2023.
Penangkapan Paulus Tannos
Divisi Hubungan Internasional Polri menyebutkan bahwa penangkapan buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin, di Singapura, adalah atas permintaan institusi penegak hukum itu dalam rangka membantu lembaga antirasuah tersebut.
“Yang bersangkutan (Paulus Tannos, red.) belum masuk daftar red notice. Yang bersangkutan ditangkap karena permintaan Polri dan Polri sifatnya membantu KPK,” kata Irjen Pol. Krishna di Jakarta, pada Jumat, 24 Agustus 2025 dikutip dari Antara.
Ia menjelaskan bahwa pada akhir 2024, Divhubinter Polri mengirimkan surat penangkapan sementara (provisional arrest) kepada otoritas Singapura untuk membantu menangkap Paulus lantaran telah mendapatkan informasi bahwa buronan tersebut berada di negara itu. Otoritas Singapura kemudian mengabulkan permohonan itu dan menangkap Paulus Tannos.
Lalu, pada 17 Januari 2025, kata dia, pihaknya dikabari oleh Jaksa Agung (attorney general) Singapura bahwa Paulus telah ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura. Kemudian, pada 21 Januari 2025, dilaksanakan rapat gabungan bersama kementerian/lembaga untuk menindaklanjuti proses berikutnya.
“Selanjutnya, Indonesia saat ini sedang memproses ekstradisi yang bersangkutan dengan penjuru adalah Kementerian Hukum (Kemenkum) didukung KPK, Polri, Kejagung dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu),” ucapnya.
Ade Ridwan Yandwiputra, Intan Setiawanty, dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: