Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Lahan Pangan oleh Pemerintah Picu Kontroversi
Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Lahan Pangan oleh Pemerintah Picu Kontroversi. ????Pemerintah Indonesia berencana membuka lahan pangan seluas kurang lebih 20 juta hektar. Rencana ini diungkapkan oleh Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp
Yogyakarta (– Pemerintah Indonesia berencana membuka lahan pangan seluas kurang lebih 20 juta hektar. Rencana ini diungkapkan oleh Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto. Wacana ini menuai beragam reaksi dari masyarakat.
Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan bahwa saat ini belum ada urgensi bagi pemerintah untuk membuka lahan baru secara besar-besaran, meskipun kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan sumber pangan. Mereka merekomendasikan agar pemerintah lebih fokus memperbaiki sistem pertanian yang ada, yang dinilai belum optimal.
Pentingnya Perbaikan Sistem Pertanian
Pemerhati kebijakan sosial ekonomi pertanian, Prof. Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D., menyoroti berbagai faktor yang mempengaruhi stabilitas produksi pangan. “Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produksi pangan yang terganggu karena tidak efisiennya penggunaan pupuk, peralatan pertanian yang masih terbatas, hingga minimnya irigasi pertanian,” ungkapnya.
Subejo juga menyoroti masalah demografis dalam sektor pertanian, di mana rata-rata usia petani semakin tua dan minat generasi muda untuk menjadi petani rendah. “Tugas yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat Indonesia usia muda untuk masuk ke dunia pertanian untuk regenerasi,” jelasnya.
Tingkat kompetensi SDM petani yang masih rendah juga menjadi perhatian. “Sebagian besar pendidikan petani rata-rata hanya lulusan sekolah dasar. Semua faktor tersebut perlu diperbaiki dan dikelola dengan baik karena akan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan Indonesia ke depan,” tambah Subejo.
Kebutuhan Alih Fungsi Lahan untuk Energi
Kebijakan alih fungsi lahan sebanyak 20 juta hektar yang direncanakan untuk sumber energi juga dinilai belum perlu. Menurut Subejo, kebutuhan akan energi berbahan dasar kelapa sawit atau bioetanol masih bisa dipenuhi dengan jumlah hutan sawit yang ada saat ini.
Efek Samping Pembukaan Lahan
Pembukaan lahan hutan memiliki banyak efek samping yang perlu dipertimbangkan, terutama dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang harus menjaga keseimbangan keragaman hayati dan ketersediaan pangan.
Guru Besar Kehutanan UGM, Prof. Dr. Widyanto Dwi Nugroho, S.Hut., M.Agr.Sc., mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu membuka lahan baru dengan merusak hutan. “Pembukaan lahan akan lebih tepat apabila memanfaatkan hutan degradasi menjadi produktif dan bisa bermanfaat untuk segi pangan dan lingkungan,” tegasnya.
Potensi Konflik Sosial
Selain dampak lingkungan, pembukaan lahan juga berpotensi menimbulkan konflik sosial. Widyanto menyoroti bahwa program proyek pangan yang dicanangkan pemerintah memiliki risiko menciptakan kerentanan traumatik yang telah ada sejak zaman penjajahan.
“Pembukaan lahan tidak hanya berdampak pada keseimbangan alam tetapi juga keadaan sosial pada masyarakat yang terdampak. Para penduduk asli yang hidup di sekitar hutan seringkali diberi janji-janji palsu oleh pemerintah, yang pada akhirnya hanya menyebabkan konflik internal,” katanya.
Antropolog UGM, Dr. Laksmi Adriani Savitri, juga memperingatkan potensi konflik dengan masyarakat adat. “Masyarakat kita ingin diajak duduk dan bicara secara setara,” ungkapnya. Ia menyarankan pemerintah untuk meninjau ulang rencana pembukaan hutan seluas 20 juta hektar demi menghindari konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. [aje]