Upaya Penyehatan BUMN, Pakar Ungkap Pentingnya Restrukturisasi BUMN Sakit
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai masih belum sehat secara keseluruhan. Sehingga, sejumlah pakar menilai perlu ada pembenahan signifikan terhadap perusahaan pelat merah yang sakit tersebut. Hal...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai masih belum sehat secara keseluruhan. Sehingga, sejumlah pakar menilai perlu ada pembenahan signifikan terhadap perusahaan pelat merah yang sakit tersebut.
Hal itu merupakan bagian dari usulan pakar dalam Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Komisi VI DPR RI pada Kamis (30/1/2025). Rapat tersebut menampung aspirasi pakar terkait penyusunan RUU BUMN.
Pakar Manajemen Toto Pranoto menyoroti hanya sebagian kecil BUMN yang berkontribusi signifikan terhadap pendapatan negara, sementara mayoritas lainnya justru menjadi beban. "Sekitar 80 persen dari total kontribusi pendapatan BUMN hanya disumbang oleh beberapa BUMN. Aset BUMN, dari Rp 900 triliun hanya didominasi oleh beberapa BUMN. Distribusi aset terkonsentrasi hanya pada industri jasa keuangan dan sektor energi, minyak dan gas," jelasnya.
Menurutnya, pemerintah harus lebih serius dalam merestrukturisasi BUMN yang kurang sehat agar pengelolaan perusahaan pelat merah lebih efisien dan tidak membebani negara. Salah satu langkah yang disarankan adalah melakukan spin-off terhadap BUMN yang kinerja keuangannya lemah, sehingga pengawasan dan manajemen menjadi lebih efektif.
"Melakukan restrukturisasi bagi BUMN yang kurang sehat secara internal (keuangan). Spin-off diharapkan membuat span of control Kementerian BUMN lebih ramping," tambahnya.
Toto juga mengkritisi kebijakan dividend payout ratio sebesar 70 persen yang harus disetorkan BUMN kepada negara. Menurutnya, jika mayoritas laba harus dikembalikan ke kas negara, maka perusahaan-perusahaan BUMN akan kesulitan melakukan ekspansi bisnis.
"Jika tidak ada retained earning yang cukup, maka BUMN tidak akan bisa melakukan ekspansi," ujarnya.
Kebijakan ini, menurutnya, justru menghambat pertumbuhan jangka panjang BUMN. Idealnya, sebagian besar keuntungan harus diinvestasikan kembali untuk memperkuat daya saing perusahaan, bukan sekadar dijadikan sumber pendapatan negara.
Salah satu masalah besar dalam pengelolaan BUMN saat ini adalah banyaknya pembentukan anak dan cucu perusahaan yang justru berujung merugi. Toto menilai tidak ada aturan yang jelas dalam pembentukan anak usaha BUMN, sehingga sering kali perusahaan baru didirikan tanpa analisis bisnis yang matang.
"Banyaknya pembentukan anak dan cucu perusahaan BUMN yang akhirnya merugi menunjukkan bahwa perlu ada aturan yang lebih ketat dalam regulasi ini," tegasnya.
Ia menyarankan agar ada syarat dan ketentuan yang lebih jelas terkait pembentukan anak perusahaan dalam revisi UU BUMN. Jika tidak, masalah inefisiensi dan pemborosan dana negara akan terus terjadi.
Sebagai perbandingan, Toto menyoroti model BUMN di China, di mana perusahaan milik negara beroperasi di berbagai sektor strategis dengan inovasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah dan investasi teknologi. Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari pengalaman tersebut dengan memastikan bahwa BUMN tidak hanya besar secara aset, tetapi juga efisien dan berdaya saing tinggi.
Selain itu, ia juga menegaskan, reformasi BUMN tak hanya tentang investasi, tetapi juga tentang membangun struktur organisasi yang lebih sehat dan fleksibel. Menurutnya, BPI yang akan dibentuk dalam RUU ini harus memiliki struktur independen dan profesional, sehingga bisa beroperasi dengan tata kelola yang lebih baik dibandingkan model BUMN saat ini.
"BPI Danantara tidak hanya bertugas mengelola dana investasi BUMN, tetapi juga harus mampu mengembangkan bisnis atau industri baru yang bisa memberikan nilai tambah bagi perekonomian," kata dia.