Asosiasi Ajak Pemerintah dan Industri Batubara Tinjau Ulang Kebijakan Harga DMO
Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugroho, menggarisbawahi posisi strategis Indonesia sebagai negara eksportir batubara terbesar di dunia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam upaya mengatasi ketimpangan harga yang terus berlanjut, Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengadakan webinar dengan tema "Mencari Format Harga Batubara yang Berkeadilan" pada Kamis (14/11/2024).
Webinar ini bertujuan untuk mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pejabat pemerintah, pelaku industri, dan akademisi, dalam merumuskan solusi harga yang mampu mendukung keberlanjutan sektor energi di Indonesia.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba), PLN EP, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), serta PT Arutmin, dan diisi dengan diskusi tentang tantangan yang dihadapi industri domestik.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua Umum Aspebindo, , menggarisbawahi posisi strategis Indonesia sebagai negara eksportir terbesar di dunia.
Fathul menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk lebih berperan dalam menentukan harga global dan bisa memanfaatkan posisi tersebut untuk menciptakan harga yang lebih menguntungkan bagi pasar domestik.
"Indonesia bukan hanya konsumen , tetapi juga pemain kunci di pasar global. Kami perlu menegaskan posisi Indonesia dalam menentukan harga , yang seharusnya lebih adil bagi industri domestik," ujar Fathul.
Fathul juga menyebutkan bahwa Menteri ESDM RI, Bahlil Lahadalia, pernah mengungkapkan rencana Indonesia untuk menciptakan indeks harga nasional.
Termasuk soal (DMO) yang merupakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan pertambangan untuk memasok sebagian untuk kebutuhan dalam negeri.
Meskipun harga di Indonesia tidak dapat sepenuhnya lepas dari fluktuasi pasar internasional, adanya indeks harga nasional akan memberi Indonesia lebih banyak kontrol atas harga komoditas penting ini.
Selain itu, Fathul juga mengkritisi kebijakan kenaikan tarif royalti untuk IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang saat ini berada di kisaran 3-7 persen, serta sekitar 13% untuk PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).
Menurutnya, kebijakan tersebut sangat berdampak pada profitabilitas perusahaan-perusahaan pemegang izin.
"Kenaikan tarif royalti yang progresif ini akan sangat membebani perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang beroperasi di sektor ini. Hal ini memerlukan evaluasi kembali agar tidak merugikan industri yang sudah menghadapi banyak tantangan," ujar Fathul.
Sebagai langkah alternatif, Aspebindo mengusulkan pembentukan Indonesia Green Coal Index, yang dapat mencakup pajak karbon sebagai bagian dari upaya mendukung transisi energi bersih.
Usulan ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengenakan pajak karbon pada 2025, setelah sempat tertunda pada 2024.
Marsudi Wijaya, Komite Marketing APBI-ICMA, menambahkan bahwa meskipun Indonesia dan PLN berkomitmen untuk mempercepat pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan energi bersih lainnya, kontribusi batubara dalam pembangkit listrik PLN diperkirakan akan tetap signifikan hingga tahun 2030.
Baca juga:
"PLN terus berupaya mengembangkan energi terbarukan, namun masih akan menjadi sumber utama energi pembangkit listrik, dengan kontribusi mencapai 60% pada tahun 2030," ujar Marsudi, menekankan pentingnya strategi yang seimbang antara pengembangan energi bersih dan pemanfaatan yang berkelanjutan.