Darah di Kotak Suara: Rekam Jejak Kekerasan Politik di Sampang

Darah di Kotak Suara: Rekam Jejak Kekerasan Politik di Sampang. ????Pada Minggu (17/11/2024), pendukung salah satu pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada Sampang 2024 meninggal dunia -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp

Darah di Kotak Suara: Rekam Jejak Kekerasan Politik di Sampang

Surabaya (beritajatim.com) – Tragedi berdarah terkait pemilihan pemimpin politik terjadi di Sampang. Pada Minggu (17/11/2024), pendukung salah satu pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada Sampang 2024 meninggal dunia akibat sabetan senjata tajam.

Tragedi ini diawali kunjungan Calon Bupati Sampang nomor urut 2, Slamet Junaidi ke salah satu tokoh masyarakat di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang. Ternyata, kunjungan itu memantik sentimen dari pendukung paslon lain.

Diketahui, mayoritas warga Desa Ketapang tersebut merupakan pendukung Paslon Bupati Sampang nomor urut satu, Gus Mamak-Abdullah Hidayat. Warga setempat berselisih paham dengan rombongan Cabup nomor urut 2.

Bahkan, sebagian warga desa itu sudah mencoba menghadang rombongan. Karena situasi semakin tak terkendali, rombongan Ahmad Junaidi meninggalkan lokasi untuk mengamankan diri.

Dalam video yang beredar, sebagian warga yang gagal menghadang rombongan, tiba-tiba merapat ke rumah Jimmy yang tak jauh dari lokasi. Mereka membawa senjata tajam berupa celurit. Jimmy pun menjadi korban penyerangan hingga tewas.

Penjabat (Pj) Gubernur Jatim, Adhy Karyono menyayangkan kejadian tersebut. Apalagi, saat ini sudah mendekati masa pencoblosan.

“Memang kemungkinan ada kaitannya dengan ketegangan antarpendukung paslon. Kami prihatin, tapi biarkan Polres Sampang untuk menangani motif yang sebenarnya. Saya hanya bisa mengimbau untuk semua pihak saling menjaga kondusivitas di wilayah masing-masing,” tegas Adhy di Kantor Gubernur Jatim, Senin (18/11/2024).

“Sekarang kami koordinasikan dengan Polda Jatim, kalau kasus terkait pidana, tentu diselesaikan,” imbuhnya.

Pj Gubernur Jatim juga meminta seluruh paslon agar bisa mengendalikan para pendukungnya untuk tidak melakukan cara-cara kekerasan yang akan merusak persatuan.

“Kami juga mengimbau tidak hanya di Sampang, tapi potensi bisa terjadi di mana saja. Semakin mendekati tanggal 27 November, kita harus hati-hati, eskalasinya sudah naik,” tuturnya.

Selain itu, mantan pejabat Kemensos RI itu mengatakan telah melakukan rapat koordinasi dengan Kapolda Jatim untuk melihat situasi keamanan terakhir. Ini karena eskalasi keamanan yang sudah meningkat.

Adhy mengatakan, perlu ada upaya lebih untuk mengantisipasi terjadinya potensi kerawanan pada Pilkada Serentak.

“Otomatis mendekati tanggal 27 November (akhir kampanye) banyak sekali dukungan besar-besaran, mulai muncul ujaran kebencian dan sebagainya muncul lagi. Kami khawatir kalau kita tidak bersatu, memberi edukasi menahan diri kepada kelompok pendukung itu, tentu akan terjadi,” kata Adhy.

“Mudah-mudahan dengan kejadian ini kita semakin represif untuk keamanannya ya. Kita minta karena sudah terjadi. Oleh karena itu, aparat keamanan, kemudian pemerintah kabupaten/kota harus sama-sama turun melakukan sesuatu yang bisa mendamaikan mereka. Saat ini keamanan sudah mulai diperketat,” tukasnya.

Dampak tragedi itu, debat publik ketigaPemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sampang batal digelar. Seharusnya, debat publik ketiga itu, dilaksanakan hari ini.

Divisi Teknis Penyelenggaraan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sampang, Fadli mengatakan, debat publik ketiga dibatalkan atas kesepakatan tim pasangan nomor urut 01 KH. Muhammad bin Muafi Zaini-H. Abdullah Hidayat (Mandat) dan paslon nomer urut 02 H. Slamet Junaidi-Ra Mahfud (Jimad Sakteh).

Ia menegaskan, pembatalan debat publik ketiga ini juga untuk menjaga kondusivitas pasca terjadinya insiden berdarah di wilayah Ketapang.

Catatan Kekerasan Politik di Sampang

Kekerasan politik di Sampang tersebut bukan terjadi kali ini saja. Pada 1997, agenda pemilu ulang saat itu dilakukan di Sampang, Madura. Sampang menjadi Kabupaten di Indonesia yang kala itu menggelar pemilu ulang.

Pemilu ulang dilakukan karena dilatarbelakangi praktik-praktik rekayasa dan manipulasi suara rezim penguasa.

Kecurangan secara massif dan sistematis dilakukan oleh panitia pelaksana pemilu di beberapa TPS dan PPS/kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Sampang. Ditemukan kecurangan-kecurangan berupa banyaknya warga yang tidak didaftarkan sebagai pemilih, tidak diberikannya form CA/CA-1 ke saksi-saksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu berimbas kepada kemarahan sebagian besar kiai dan masyarakat Sampang.

Puncaknya, pada 29 Mei 1997 terjadi kerusuhan massal di kota yang melebar hingga ke desa. Massa membakar kotak suara, dan tempat-tempat lainnya, menuntut pemilu ulang di Sampang.

Banyak korban luka dan meninggal dalam kerusuhan saat itu. Penanganan kasus ini belum jelas hingga sekarang.Setelah kerusuhan tersebut, pemerintah menyetujui digelar pemilu ulang pada tanggal 4 Juni 1997 walaupun dalam pelaksanaannya kemudian masih sarat tipu daya.

Tragedi berikutnya terjadi pada 2004. Saat itu, Mahkamah Konstitusi(MK) memerintahkan penghitungan ulang di enam kecamatan di Sampang. Keenam kecamatan itu ialah Robatal, Sampang (khusus di Gunung Maddah), Kedungdung, Banyuates, Sokobanah, dan Ketapang.

Putusan untuk dilakukan pemilihan ulang ini didasarkan pada Laporan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terkait adanya penggelembungan suara di Kabupaten Sampang. Menurut saksi PKB, hasil penghitungan suara untuk DPRD II Sampang seharusnya berjumlah 181.095 suara, namun hasil penghitungan suara yang tercatat di KPUD Sampang berjumlah 178.884 suara.

Menanggapi laporan ini kemudian MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sampang berdasarkan Surat Ketetapan Nomor 031/PHPU.C1-II/2004 untuk melakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat penghitungan suara. Kala itu, MK memerintahkan KPU membawa kotak suara dari Madura ke Jakarta untuk dihitung ulang. Begitu sampai di Jakarta, ternyata kotak suara tidak utuh dan ternyata separuh kotaknya kosong.

Kekerasan politik kembali terjadi di Sampang saat Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008. Pilgub Jatim kala itu mencatatkan rekor berlangsung hingga tiga putaran. Fenomena tersebut terjadi di Kabupaten Sampang dan Bangkalan. Peristiwa itu melibatkan duet cagub-cawagub Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) versus KPU dan Panwas. Sementara pihak terkait adalah duet cagub-cawagub Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa).

Saat itu, Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono menemukan adanya praktik penggelembungan suara di tiga kabupaten, Bangkalan, Sampang dan Pamekasan sekitar 220.000 suara untuk kemenangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Namun, setelah turun putusan MK justru Kaji lebih unggul 138.746 suara dibanding Karsa.

Bahkan putusan MK nomor 41/PHPU-D-VI/2008 menyatakan bahwa bentuk pelanggaran itu bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Setahun kemudian, tepatnya pada pelaksanaan Pemilu DPRD I/DPRD II/DPR dan DPD 2009, salah satu kasus yang mencuat di permukaan adalah tuntutan terhadap penggelembungan suara DPD yang terjadi di kabupaten Sampang. Adalah Abdul Jalil Latuconsina, salah seorang kontestan yang menggugat perolehan tidak wajar calon lainnya, yakni Haruna Soemitro memperoleh 119 ribu suara dan Badruttamam memperoleh 135.448 suara di Kabupaten Sampang.

Sedangkan di daerah lainnya hanya mencapai 3.000-an suara. Dugaan ini juga diperkuat oleh adanya sms singkat dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kabupaten Sampang kepada saudara Abdul Jalil Latuconsina untuk meminta uang sebesar Rp 15 juta guna menambah suara. Walaupun tuntutan itu akhirnya kandas, namun keterangan tersebut bisa dijadikan catatan sebagai modus adanya praktik-praktik manipulasi suara di Sampang.

Tahun 2013, saat pelaksanaan Pilgub Jatim, Tim pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Herman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Berkah menemukan kecurangan tidak disebarkannya undangan pada pemilih secara merata terutama di kantong-kantong pendukung pasangan ini. Di Salah satu desa di Kabupaten Sampang, Tim Berkah menemukan tidak sebenarnya undangan sebanyak 12.000 kepada pemilih . Di samping itu, indikasi kecurangan juga didapat dari temuan perolehan suara nol untuk pasangan ini di sejumlah desa di Kabupaten Sampang. [tok/beq]