Polisi Selidiki Mantan Anggota Parlemen Partai Buruh yang Sebut Hamas sebagai “Islamis”
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Polisi menyelidiki anggota House of Lords dan mantan anggota parlemen Partai Buruh, Ian Austin karena menyebut Hamas sebagai "Islamis". Austin diduga melanggar undang-undang ujaran kebencian. Berdasarkan tulisannya di...
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Polisi menyelidiki anggota House of Lords dan mantan anggota parlemen Partai Buruh, Ian Austin karena menyebut sebagai "Islamis". Austin diduga melanggar undang-undang ujaran kebencian.
Berdasarkan tulisannya di Telegraph, Austin menjelaskan bahwa bukan hanya jurnalis seperti Allison Pearson yang telah diselidiki polisi atas komentarnya di media sosial, tapi ia juga menjadi sasaran polisi.
"Saya juga menjadi sasaran polisi karena mencuit tentang Timur Tengah, sebagaimana Pearson duga sebelumnya, karena ia diberitahu bahwa hal itu terjadi setahun yang lalu, ketika ia mencuit tentang kekejaman Hamas pada tanggal 7 Oktober," kata Austin.
Pada Februari lalu, Austin mengejek pernyataan UNRWA bahwa mereka tidak mengetahui tentang pusat operasi Hamas di bawah kantor mereka di Gaza, dengan mengatakan:
“Semua orang, lebih baik aman daripada menyesal: sebelum Anda tidur, pergilah dan periksa apakah Anda secara tidak sengaja mendapati sekelompok pembunuh dan pemerkosa yang menjalankan operasi mereka di lantai bawah. Itu mudah dilakukan.”
Austin menganggap lawan politik dan ekstremis telah salah menafsirkan leluconnya, yang mana mengklaim penggunaan kata "Islamis" bersifat Islamofobia atau rasis dan menyebabkan banyak pelecehan dan ancaman.
"Saya kira itu sudah diduga, tetapi saya terkejut dan ngeri ketika polisi terlibat," kata Austin.
Suatu malam beberapa hari setelah cuitanmya, Austin mengaku menerima telepon dari polisi West Midlands yang menanyakan keberadaan dan keselamatannya. Dia pun berasumsi hal itu terjadi karena adanya ancaman.
"Betapa naifnya hal itu. Sebenarnya, mereka telah menerima keluhan tentang tweet saya, telah melakukan penyelidikan, tetapi memutuskan untuk tidak mengambil tindakan," jelas Austin.
Dia mengaku sempat diberi tahu oleh seorang perwira polisi senior bahwa mereka akan mencatatnya sebagai "insiden kebencian non-kejahatan" jika aturan tidak diubah untuk menaikkan ambang batas.
"Mereka mengatakan hal itu terjadi karena saya menggunakan kata “Islamis” dan bertanya apakah saya melihat apa yang dikatakan orang-orang di LinkedIn," kata Austin.
Dia pun menjelaskan bahwa istilah "Islamis" digunakan 17 kali dalam daftar organisasi terlarang Pemerintah. Istilah ini diciptakan untuk membedakan antara Muslim yang taat hukum dan ekstremis serta digunakan oleh pemerintah, akademisi, lembaga pemikir ahli, dan organisasi media terkemuka di dunia.
"Bukan kebetulan bahwa Pearson kemungkinan besar menjadi sasaran karena menyuarakan kepentingan Israel, sama seperti saya," ujar Austin.
"Hukum dan kepolisian kita telah dijadikan senjata dalam kampanye untuk membungkam para pengkritik Islamisme. Apa yang dimulai dengan beberapa tweet tidak akan berakhir di sana," kata dia.