Harga Kamar Hotel di Brasil Melejit hingga Ribuan Persen Jelang COP30

Kenaikan harga akomodasi ini mungkin akan membuat para calon peserta yang akan menghadiri pertemuan pertama di hutan hujan Amazon, Brasil ini enggan untuk datang.

Harga Kamar Hotel di Brasil Melejit hingga Ribuan Persen Jelang COP30

Sembilan bulan menjelang pertemuan iklim tahunan PBB tahun ini atau COP30, harga penginapan di Belem, melonjak tinggi hingga ribuan persen. Kenaikan harga akomodasi ini mungkin akan membuat para calon peserta yang akan menghadiri pertemuan pertama di hutan hujan Amazon ini enggan untuk datang.

Dengan kurangnya tempat tinggal dan tingginya minat terhadap COP30, para pemilik properti dan perusahaan penyewaan berani mengenakan tarif lima digit. Tarif yang tinggi ini bahkan juga berlaku untuk kamar-kamar sempit dengan kamar mandi bersama.

Di Booking.com, salah satu kamar di apartemen dijual dengan harga US$ 15.266 (Rp 249,14 juta, dengan kurs Rp 16.320/US$) untuk satu orang. Harga kamar tersebut meroket hingga 9.562% dari US$ 158 (Rp 2,58 juta) untuk kategori yang sama saat ini.

Delegasi yang akan menginap selama 15 hari selama konferensi akan menghabiskan biaya US$ 228.992 (Rp 3,74 miliar). Biaya tersebut cukup untuk membeli sebuah apartemen dengan empat kamar tidur di salah satu lingkungan terbaik di Belem.

Di Airbnb, sebuah kamar dengan kamar mandi bersama di Ananindeua, sebuah kota miskin di dekat Belem, terdaftar dengan harga US$ 9.320 (Rp 152,1 juta) per hari. Kamar yang sama saat ini dapat disewa dengan harga US$ 11 (Rp 179.520) per hari.

Di lingkungan yang lebih mewah, menyewa apartemen yang dapat menampung delapan orang bisa mencapai US$ 446.595 (Rp 7,29 miliar) untuk masa tinggal dua minggu.

“Yang satu ini membuat saya takut,” ujar arsitek lokal dan influencer digital, Renato Balaguer, tentang apartemen bobrok yang terdaftar dengan harga US$ 10.000 (Rp 163,2 juta) untuk masa inap sebelas hari.

“Ini seperti menempatkan orang asing dalam penangkaran. Pemenjaraan palsu adalah kejahatan!” kata Balaguer dalam sebuah unggahan di media sosial, yang kemudian menjadi viral, seperti dikutip AP.

Infrastruktur Belem Masih Tertinggal

Presiden Luiz Inacio Lula da Silva, yang mengatasnamakan dirinya sebagai pelindung lingkungan, membanggakan penyelenggaraan acara ini di Amazon. Hutan Amazon membantu mengatur iklim dengan menyimpan karbon dioksida dalam jumlah besar. Karbon dioksida adalah salah satu gas yang menyebabkan perubahan iklim.

Tahun ini juga merupakan tahun yang penting karena negara-negara harus menyampaikan komitmen terbaru untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, kelompok-kelompok sipil sangat tertarik untuk hadir karena Brasil mengizinkan protes dan kebebasan berekspresi. Hal-hal tersebut sangat dibatasi di tiga negara tuan rumah sebelumnya: Azerbaijan, Uni Emirat Arab, dan Mesir.

Brasil, negara terbesar dan terpadat di Amerika Latin, telah menjadi tuan rumah acara-acara dunia lainnya. Misalnya, Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro dan Piala Dunia 2014.

Belem, sebuah kota pelabuhan Atlantik yang berada di tepi hutan hujan Amazon, tidak memiliki infrastruktur yang sama dengan kota-kota besar lainnya. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai kemampuannya untuk menjadi tuan rumah COP30.

Para pejabat memperkirakan sekitar 50.000 orang akan menghadiri COP30, yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 10-21 November. Tahun lalu di Baku, Azerbaijan, jumlah peserta yang hadir mencapai 54.148 orang. Sebelumnya, di Dubai, jumlah peserta yang hadir mencapai rekor 83.884 orang.

Baik pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian Para tidak menjawab pertanyaan tentang jumlah kamar yang tersedia di Belem. Belem merupakan kota metropolitan yang ramai dan miskin dengan 2,5 juta penduduk dan pendapatan rata-rata US$ 920 (Rp 15 juta) per bulan.

Mereka yang memesan lebih dari satu tahun sebelumnya mendapatkan harga yang lebih rendah. Namun, banyak dari pemesanan tersebut telah dibatalkan tanpa penjelasan.

Masalah lainnya adalah kenaikan harga akomodasi yang sudah dipesan. Sebuah organisasi nirlaba di Eropa memesan kamar seharga US$ 2.000 (Rp 32,67 juta) pada Desember 2024. Dua minggu kemudian, harga kamar tersebut telah naik menjadi US$ 7.200 (Rp 117,43 juta).

Berbagai kelompok yang sering menghadiri pertemuan tahunan ini, termasuk lembaga nirlaba lingkungan, aktivis, ilmuwan, jurnalis, dan perusahaan, harus memikirkan kembali apakah mereka akan datang. Pasalnya, harga-harga akomodasi terus naik.

“Perencanaan untuk COP30 di Belem cukup menantang karena akomodasi yang terbatas dan mahal, sehingga menciptakan hambatan bagi partisipasi kami,” ujar Roberta Alves, Wakil Direktur Komunikasi Mercy Corps. 

Organisasi nirlaba kemanusiaan internasional ini telah berpartisipasi dalam beberapa COP. Mereka fokus pada advokasi pembiayaan transisi menuju energi hijau, beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, dan bagaimana perubahan iklim memperburuk konflik.

“Kami menunggu opsi-opsi alternatif dari penyelenggara COP30, sangat penting untuk memastikan semua suara, terutama yang berasal dari garda terdepan dalam krisis iklim, diikutsertakan dalam percakapan global,” ujar Alves.

Pemilik dan manajer properti yang menawarkan penyewaan mengatakan harga adalah masalah penawaran dan permintaan. Selain itu, mereka juga memiliki biaya yang tinggi.

“Biaya listrik dan air untuk rumah saya saja mencapai 5.000 real Brasil (Rp 14,03 juta) per bulan,” kata Gisleno da Silva, yang memasang iklan untuk kamar Ananindeua dengan harga US$ 9.320 (Rp 152,1 juta) per hari.

“Dengan harga ini, saya sudah memiliki seseorang yang tertarik,” katanya. Gisleno da Silva menambahkan ia masih terbuka untuk bernegosiasi.

Harga Akomodasi Meroket Akibat Spekulasi Real Estat

Dalam menghadapi kritik yang meningkat, pemerintah Brasil mengatakan akan menyediakan 26.000 tempat tidur tambahan. Hal ini akan mencakup akomodasi di kapal-kapal pesiar yang berlabuh, sekolah-sekolah umum, hotel-hotel baru dan fasilitas-fasilitas militer.

Dalam sebuah postingan di media sosial yang diterbitkan pada Jumat (31/1), penyelenggara COP30 mengatakan para peserta yang telah terakreditasi akan segera dapat memesan akomodasi di sebuah platform online.

“Kami telah mengamati kenaikan harga sewa yang tidak proporsional, yang kami kaitkan dengan spekulasi real estat. Hal ini akan menjadi stabil seiring dengan peningkatan ketersediaan akomodasi oleh pemerintah,” kata Valter Correia, Sekretaris Khusus COP30, dalam pernyataannya.

Banyak pendukung yang membela Belem, dengan mengatakan tantangan yang ada tidak seberapa dibandingkan dengan pentingnya menjadi tuan rumah pertemuan iklim tahunan yang paling penting di hutan hujan terbesar di dunia.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar Valor Economico pada bulan Desember, aktivis lingkungan Priscilla Santos, salah satu pendiri Amazonians for Climate Network, mengatakan kritik terhadap Belem tidak hanya menunjukkan bias kolonialisme. Kritik itu juga melemahkan sebuah acara yang dapat menjadi transformatif untuk wilayah tersebut.

“Semua orang ingin menyelamatkan Amazon, tetapi tidak ada yang mau membahasnya di wilayah tersebut?”

Sementara itu, karena khawatir dengan reputasi mereka, beberapa manajer properti menjauhkan diri dari spekulasi tersebut. Dalam sebuah video yang viral di Instagram, Fabrício de Menezes membandingkan harga sewa harian sebuah apartemen di Belem dengan harga sewa di Jumeirah Burj Al Arab di Dubai, satu-satunya hotel bintang tujuh di dunia.

Apartemen di Belem itu mengenakan biaya US$ 21.800 (Rp 355,55 juta) selama COP30 yang berlangsung sebelas hari. Adapun harga sewa kamar di Jumeirah Burj Al Arab jauh lebih rendah, yakni mulai dari Rp 25 juta per malam atau sekitar Rp 275 juta untuk sebelas hari.

“Saya harap ini hanya lelucon dari pemiliknya,” kata de Menezes.

Manajer properti lokal lainnya, Carlos Netto, mengatakan ia tidak akan pernah menyarankan pemilik properti untuk mematok harga setinggi itu.

“Apakah Anda pikir orang asing itu tidak tahu apa-apa? Di mana di dunia ini ada penyewaan 20 hari yang lebih mahal dari harga propertinya?” tulis Netto.