ICJR Dorong Revisi KUHAP Berisi Perbaikan Hukum, Sorot Pengawasan Dalam Proses Penyidikan

Peneliti ICJR Meidina Rahmawati mendorong agar revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berisi perbaikan hukum.

ICJR Dorong Revisi KUHAP Berisi Perbaikan Hukum, Sorot Pengawasan Dalam Proses Penyidikan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Meidina Rahmawati mendorong agar revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berisi perbaikan hukum.

Meidina mengungkap satu di antaranya soal pengawasan proses penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum.

Diketahui revisi akan menjadi usul inisiatif DPR.

DPR sendiri saat ini masih mengumpulkan keterangan dari berbagai ahli hukum, terkait revisi tersebut.

"Respons terhadap revisi KUHAP yang sudah disampaikan Ketua Komisi III DPR. Itu untuk merespons KUHP baru kita pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023," kata Meidina dalam diskusi menanggapi rencana pembahasan revisi KUHP, kantor LBH Jakarta, Minggu (9/2/2025).

Baca juga:

Menurutnya respons itu sudah tepat.

Meski begitu, ia mengingatkan revisi tidak hanya soal materi-materi baru dalam KUHP 2023.

Tetapi juga harus menangkap permasalahan yang ada.

"Hukum pidana kita itu didasarkan pada diferensiasi fungsional, yang mana aparat hukum masing-masing berdiri satu sama lain. Mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang berdiri satu sama lain. Tapi ternyata check and balance-nya tidak cukup saling mengawasi," ungkapnya.

Baca juga:

Lanjut dia, akhirnya aparat penegak hukum masing-masing punya kewenangan sendiri-sendiri, sehingga yang terjadi bukan saling mengawasi.

"Itu terjadi misalnya pada konteks penyidikan dan penyelidikan. Misalnya kita tahu izin penangkapan datangnya tidak dari pengadilan, tapi bisa dari penyidik sendiri. Tidak ada yang mengimbangi kewenangan penangkapan," kata Meidina.

Bahkan dikatakannya pada tindak pidana tertentu masa penangkapan bisa sangat lama.

Misalnya dalam kasus Narkotika bisa sampai 6 hari.

"Pada masa tersebut bisa terjadi banyak potensi penyalahgunaan atau abuse dan kekerasan. Padahal pada hukum internasional izin penangkapan harus dikeluarkan bukan dari lembaga yang melakukan penangkapan," lanjutnya.