Indef Ungkap Indonesia Belum Bisa Optimalkan Dampak Ekonomi Haji, Ini Alasannya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelolaan dana haji di Indonesia masih menghadapi tantangan besar meskipun memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Menurut data Kementerian Keuangan, perputaran uang dalam ekosistem haji dan umrah...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelolaan dana haji di Indonesia masih menghadapi tantangan besar meskipun memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Menurut data Kementerian Keuangan, perputaran uang dalam ekosistem haji dan umrah diprediksi meningkat dari Rp 65 triliun pada 2023 menjadi Rp 194 triliun pada 2030. Namun, sebagian besar dana ini justru mengalir ke luar negeri, sementara dampaknya terhadap ekonomi nasional masih terbatas.
Penasihat Center for Sharia Economic Development – Institute for Development of Economics and Finance (CSED-INDEF) A. Hakam Naja menyoroti ketimpangan ini. Menurutnya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, tetapi ironisnya, kebutuhan makanan jamaah justru dipasok dari negara lain seperti Thailand dan China.
"Kita harus memastikan ekosistem haji ini benar-benar memberikan manfaat bagi ekonomi nasional. Jangan sampai kita hanya menjadi konsumen sementara keuntungan dinikmati pihak asing," ujarnya dalam diskusi 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Menagih Janji Bidang yang diikuti secara daring, Jumat (31/1/2025) kemarin.
A. Hakam Naja mengungkapkan, sebenarnya dana kelolaan haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) terus meningkat, dari Rp 166,7 triliun pada 2023 menjadi Rp 170,5 triliun pada akhir 2024. Namun, sebagian besar dana ini hanya diinvestasikan dalam instrumen keuangan seperti sukuk negara, sehingga manfaatnya terhadap sektor riil masih terbatas. Padahal, dana ini bisa menjadi modal besar untuk pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Selain itu, struktur pengeluaran biaya masih banyak mengalir ke luar negeri. Biaya akomodasi jamaah mencapai Rp 5,76 triliun atau sekitar 26,37 persen dari total biaya haji. Biaya makanan mencapai Rp 1,66 triliun atau sekitar 7,62 persen, sementara transportasi memakan biaya Rp 1,13 triliun atau sekitar 5,19 persen. Dengan besarnya aliran dana tersebut ke luar negeri, Indonesia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan ekosistem haji sebagai penggerak ekonomi domestik.
Dari sisi investasi, pengelolaan dana haji juga belum maksimal. Saat ini, dana tersebut lebih banyak ditempatkan dalam sukuk dan instrumen keuangan lainnya, padahal dana ini dapat digunakan untuk investasi produktif di sektor industri halal, infrastruktur pendukung haji, serta pemberdayaan ekonomi umat. Jika dikelola dengan lebih optimal, dana haji bisa menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia.
Lebih lanjut A. Hakam Naja menegaskan, Indonesia harus segera mengambil langkah strategis agar tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain. "Kita harus membangun ekosistem haji yang lebih mandiri. BPKH, pemerintah, dan pelaku usaha harus bersinergi dalam membangun industri halal, hotel syariah, hingga rantai pasok makanan bagi jamaah haji. Jika tidak, potensi ekonomi ini akan terus dinikmati negara lain," tegasnya.
Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan antara lain meningkatkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta nasional dalam penyediaan layanan haji seperti katering, transportasi, dan akomodasi. Selain itu, dana haji juga harus dialokasikan untuk investasi di sektor riil, seperti industri halal dan pembangunan infrastruktur haji di Indonesia, agar dampaknya lebih luas terhadap perekonomian. Pemerintah juga perlu menyusun cetak biru ekonomi syariah dalam regulasi nasional sehingga pengelolaan dana haji bisa lebih sistematis dan memberikan manfaat bagi perekonomian dalam negeri.
Dengan jumlah jamaah haji Indonesia yang besar serta dana kelolaan yang terus meningkat, Indonesia harus segera mengambil langkah konkret agar manfaat ekonomi dari ekosistem haji benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat dalam negeri. Jika tidak dioptimalkan, peluang besar ini hanya akan menguntungkan pihak asing dan Indonesia akan terus kehilangan potensi besar dalam ekonomi syariah global.