KPK sita empat properti terkait korupsi lahan di Rorotan
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita empat properti dengan nilai sekitar Rp22 miliar terkait ...
Jakarta (ANTARA) - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita empat properti dengan nilai sekitar Rp22 miliar terkait penyidikan dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara, di lingkungan BUMD Sarana Jaya tahun 2019-2020.
"Asset yang disita tersebut milik tersangka DS dan diduga punya keterkaitan dengan perkara dimaksud," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.
Tessa menerangkan aset yang disita tersebut berupa satu unit apartemen di Jakarta Selatan, satu unit apartemen di Serpong, serta dua bidang tanah di Cikarang dengan luas sekitar 11.000 meter persegi.
"Taksiran nilai dari empat bidang aset yang disita tersebut kurang lebih sebesar Rp22 miliar," ujarnya.
KPK menyampaikan terima kasih yang sebesar besarnya kepada para pihak dan juga masyarakat yang telah membantu kelancaran kegiatan penyitaan pada perkara ini.
Pada Kamis, 13 Juni 2024, KPK mengumumkan dimulainya penyidikan terkait dengan dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara di lingkungan BUMD Sarana Jaya.
Selain itu, KPK juga mengumumkan telah melakukan cekal ke luar negeri terhadap 10 orang tersebut berlaku sejak 12 Juni 2024 selama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk kepentingan penyidikan.
Dengan perkara tersebut telah memasuki tahap penyidikan, kata dia, bisa dipastikan sudah ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Meski demikian, siapa saja pihak yang ditetapkan sebagai tersangka beserta uraian lengkap perkara tersebut baru akan disampaikan penyidik ketika penyidikan dinyatakan rampung.
Budi menjelaskan bahwa penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan tersebut merupakan pengembangan dari penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan lahan di Cakung, Jakarta Timur.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur pada hari Rabu (26/6) mengungkapkan kerugian keuangan negara terkait dengan perkara tersebut mencapai lebih dari Rp200 miliar.
Asep menerangkan bahwa modus dugaan korupsi dalam perkara tersebut adalah adanya permainan antara pembeli dan makelar yang menyebabkan adanya selisih harga hingga berujung pada kerugian keuangan negara.
Pembelian itu, menurut Asep, mengabaikan proses yang benar. Pembelian tanah seharusnya bisa langsung dilakukan antara pembeli dan penjual, tetapi dalam hal ini pembelian tersebut dilakukan melalui makelar.
"Terlihat ada persekongkolan antara pembeli dan makelar tersebut, padahal harusnya pembeli itu bisa langsung membeli tanah dari penjual atau masyarakat," kata Asep.
Baca juga:
Baca juga:
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025