Pertumbuhan Kredit 2024 Melambat, Tanda Daya Beli Lemah?
Pertumbuhan kredit melambat memasuki semester II 2024, seiring kondisi ekonomi global.
Bank Indonesia mencatat realisasi pertumbuhan kredit sepanjang 2024 mencapai di atas 10%. Namun, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Nugroho Joko Prastowo, mengatakan realisasi pertumbuhan kredit ini sempat melambat.
“Kami lihat totalnya itu di semester I 2024 tinggi. Pada Maret 2024 kredit tumbuhnya 12,4% kemudian di Juni 12,36%,” kata Joko dalam acara Pelatihan Wartawan di Kantor BI Aceh, Jumat (7/2).
Namun, Joko mencatat pertumbuhan kredit melambat memasuki semester II 2024 seiring kondisi ekonomi global, terutama di masa Pemilihan Umum Amerika Serikat yang akhirnya memenangkan Donald Trump. “Saat momen itu ada dampak kepada aliran modal keluar dan nilai tukar juga,” ujar Joko.
Joko menjelaskan, kondisi ini berdampak kepada akselerasi pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit pada paruh kedua tahun lalu melambat hingga akhir Desember khanya 10,39%.
Ia menilai capaian tersebut tetap positif karena masih dalam target sasaran BI yaitu 10-14%. “Tahun sebelumnya (pertumbuhan kredit) 10,38%, jadi relatif stabil. Bisa di atas 10% adalah suatu pencapaian,” kata Joko.
Korporasi Jadi Pendorong Utama, Daya Beli Lemah?
Berdasarkan sektor perekonomian, menurut Joko, pertumbuhan kredit ditopang oleh sektor industri, jasa dunia usaha, dan lainnya. Sedangkan berdasarkan ini ditopang dari penjualan dan belanja modal korporasi.
“Ibaratnya di tengah tekanan yang ada, pertumbuhan kredit di atas 10% karena sektor korporasi utamanya,” kata Joko.
Selain itu, pertumbuhan kredit juga didukung oleh konsumsi rumah tangga kelas menengah ke atas yang juga masih positif. Namun, kinerja konsumsi kelas menengah ke bawah masih cenderung terbatas.
“Kelas menengah dan atas pendapatannya masih meningkat dan itu yang mendorong konsumsi. Kemudian, misalnya juga kepada permintaan kreditnya,” ujar Joko.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS pada 2024, penghasilan kelas menengah pada periode tersebut hanya berada pada kisaran Rp 2,04 juta hingga Rp 9,91 juta per kapita per bulan. Lalu sisa upahnya masyarakat golongan atas di kisaran Rp 1,59 juta per bulan.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Askar mengatakan, terdapat perubahan struktur pasar tenaga kerja. Setelah pandemi, terjadi peningkatan pemutusan hubungan kerja dan berkurangnya peluang kerja, terutama di sektor manufaktur.
Kondisi itu berdampak kepada pendapatan yang dimiliki masyarakat. “Jadi ada penurunan pendapatan bagi sebagian masyarakat yang berdampak pada daya beli dan konsumsi,” ujar Media.
Media menambahkan, hal itu juga yang mengakibatkan proporsi kelas menengah Indonesia menurun dari 21,5% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024. Padahal, kelas menengah merupakan pendorong utama konsumsi.
“Penurunan ini mempengaruhi laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Jadi daya beli masih lambat,” kata Media.
Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin juga mengakui daya beli masyarakat pada 2024 masih lesu. Hal ini seperti terlihat dari deflasi yang terjadi lima bulan berturut-turut.
“Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dibawah pertumbuhan produk domestik bruto merupakan indikasi yang jelas,” ujar Wijayanto.