Pesan Toleransi dari Grebeg Sudiro: Kisah di Balik Harmoni Akulturasi, Persatuan, dan Kebhinekaan
Grebeg Sudiro muncul sebagai wujud perbedaan kebudayaan atau kebhinekaan dapat memupuk toleransi dan mewujudkan persatuan, dirayakan dengan suka cita.
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah hiruk-pikuk , tatapan Wiharto tertuju pada ornamen lampion khas yang berbaris rapi di depan pasar.
Tempo bicaranya terdengar lebih cepat, raut wajahnya penuh semangat menceritakan momen lebih dari 17 tahun silam yang selalu dia ingat.
Wiharto yang merupakan Koordinator Komunitas Paguyuban Pasar Gede (Komppag) ini adalah salah satu inisiator event yang pertama kali diadakan pada 2007.
“Awalnya berawal dari pembicaraan kecil warga Sudiroprajan yang ingin bergabung dalam kegiatan-kegiatan di Pasar Gede."
"Melihat potensi kawasan wilayahnya, kami jadikan kegiatan ini berdiri sendiri, meskipun lokasinya tetap di kawasan Pasar Gede yang masuk wilayah Kelurahan Sudiroprajan,” cerita Wiharto saat dijumpai Tribunnews di Pasar Gede Solo, Selasa (14/1/2025).
Potensi kawasan Sudiroprajan dinilai memiliki kekuatan akulturasi budaya Tionghoa-Jawa.
Seperti adanya Pasar Gede, Kelenteng Tien Kok Sie, toko sinshe, hingga bangunan khas arsitektur Tionghoa di sepanjang aliran Kali Pepe.
Masih jelas tergambar di ingatan Wiharto, kala itu ia mewakili Pasar Gede saat membahas cikal bakal .
Sejumlah pihak bertukar pikiran, mulai dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK), Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), pihak Kelurahan Sudiroprajan, dan sejumlah tokoh masyarakat, termasuk dari Kelenteng Tien Kok Sie.
"Waktu itu dengan beberapa tokoh Sudiroprajan, Pak Lurah waktu itu namanya Pak Sigit, ada Pak Lilik, ada tokoh dari Kelenteng, total ada 5-10 orang. Saya paparkan tentang historisitas kawasan, bagaimana karakteristik arsitektur Pecinan," ujar Wiharto.
Grebeg Sudiro kemudian dipilih menjadi nama kegiatan yang mencerminkan nilai akulturasi itu.
Dalam tradisi Jawa, grebeg biasanya diadakan pada hari-hari besar Islam seperti Grebeg Suro, Grebeg Maulid, atau Grebeg Idul Adha.
"Nah sehingga kami mengadopsi itu menjadi kultur masyarakat di wilayah Pecinan. Kemasan bentuk akulturasi budaya, sehingga yang kami jadikan gunungan bukan tumpeng, tetapi kue keranjang dan jajanan-jajanan khas Tionghoa," ungkap Wiharto.
Sementara Sudiro diambil dari nama Kelurahan Sudiroprajan.
Baca juga: