Tekan Kesenjangan, Perhumas Tingkatkan Pelatihan hingga Kompetensi Humas RI
Perhimpunan Hubungan Masyarakat (Perhumas) Indonesia merespons tantangan kesenjangan hubungan masyarakat (humas) atau public relations, terutama dalam masyarakat pedesaan di Indonesia.
Perhimpunan Hubungan Masyarakat (Perhumas) Indonesia merespons tantangan kesenjangan hubungan masyarakat (humas) atau public relations, terutama dalam masyarakat pedesaan di Indonesia.
Ketua Perhumas, Boy Kelana Soebroto, Ketua Perhumas, mengatakan bahwa sebagai asosiasi profesi humas tertua di Indonesia, Perhumas memiliki tanggung jawab besar. Selama ini, Perhumas terus mengadakan pelatihan, sertifikasi, dan akreditasi untuk meningkatkan kompetensi humas di seluruh Indonesia.
Ia menyebut hal itu penting demi mengurangi kesenjangan antara humas di kota-kota besar dan daerah-daerah, memastikan bahwa standar seorang hubungan masyarakat di mana pun tetap sama.
“Oleh karena itu, saya mengajak seluruh Humas Indonesia untuk bisa selaras dengan apa yang Perhumas gaungkan selama ini,” kata Boy di sela-sela acara World Public Relations Forum (WPRF) di Nusa Dua, Bali, Selasa (19/11).
Boy juga menambahkan bahwa Perhumas berfokus pada peningkatan kompetensi humas melalui akreditasi, sertifikasi, dan pelatihan yang mereka selenggarakan. Ia juga optimistis pemerintah saat ini sangat menghargai peran komunikasi dan humas dalam sebuah organisasi, terutama dalam sebuah negara.
Ia menekankan komunikasi yang baik sangat penting, baik dalam menyampaikan informasi ke luar negeri maupun kepada masyarakat di dalam negeri. Namun, komunikasi tersebut harus jelas, tidak boleh membingungkan atau ambigu.
“Sehingga komunikasi itu harus selaras. Jadi perannya itu penting banget sebagai Humas, sebagai PR, sebagai komunikator dari organisasi atau apalagi sebuah negara,” ucapnya.
Kesenjangan Digital dalam Masyarakat Pedesaan
Di samping itu, Vice-Chair of Indonesia Public Relations Association (Perhumas), Indonesia, Dorien Kartikawangi, menyoroti bahwa masyarakat pedesaan memiliki dinamika sosial serta norma budaya yang khas, yang perlu dihormati dan diintegrasikan dalam strategi komunikasi. Ia mengatakan transformasi digital di pedesaan justru berlangsung secara tidak merata, sehingga diperlukan pendekatan khusus yang mempertimbangkan akses teknologi, tingkat literasi, dan kondisi sosial ekonomi.
Keberagaman masyarakat pedesaan menuntut praktik komunikasi terhadap budaya, yang mampu membangun rasa percaya dan inklusivitas. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan akses terhadap internet yang stabil dan alat digital, yang dapat memperbesar kesenjangan.
Oleh karena itu, Dorien mengatakan upaya untuk mengurangi kesenjangan digital menjadi kunci keberhasilan melalui komunikasi yang efektif. Ia menilai pendekatan pertumbuhan, difusi, dan inovasi dapat digunakan untuk menganalisis strategi komunikasi dan penerapannya di masyarakat pedesaan.
“Kedengarannya memang sudah tua, namun jika kita melihat faktanya, kita membutuhkan teori ini untuk memandu inovasi dan mengembangkan inovasi,” katanya.
Lebih lanjut, Dorien menekankan pentingnya mempromosikan literasi digital, transparansi, akuntabilitas, serta keterlibatan dan kolaborasi bersama dalam komunikasi. Ia menyebut perlu pendekatan komunikasi dua arah yang melibatkan dialog aktif, pemahaman perbedaan budaya, dan penghormatan terhadap keberagaman.
Terutama sikap merendahkan terhadap masyarakat pedesaan, seperti pandangan bahwa mereka hanya membutuhkan bantuan, hal itu justru dapat memicu penolakan. Sebagai contoh, ketika perusahaan multinasional menjalankan CSR di pedesaan tanpa pendekatan yang sensitif, masyarakat setempat bisa merasa tidak dihargai dan menolak orang yang datang desa tersebut.
Tak hanya itu, ia menilai seorang public relations perlu menghormati dan memahami pertanian serta kehidupan masyarakat pedesaan. Komunikasi yang berbasis kolaborasi memungkinkan terciptanya co-creation, di mana masyarakat diposisikan sebagai mitra aktif, bukan penerima pasif, sehingga mereka merasa difasilitasi, bukan dibantu secara sepihak.
Ia juga menekankan perlunya organisasi memiliki profesional humas dengan kemampuan lintas budaya yang mumpuni untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakat yang memiliki latar budaya berbeda, terutama bagi perusahaan multinasional. Selain itu, kemampuan memahami budaya digital di samping budaya lokal juga menjadi aset penting dalam era modern.
Selain itu, ia mengatakan para pemangku kepentingan harus melihat komunikasi sebagai alat transformatif dan berinvestasi dalam strategi yang mendukung kesejahteraan masyarakat pedesaan agar tidak ada yang tertinggal dalam era digitalisasi.
Dorien menilai humas memiliki kekuatan dalam memengaruhi persepsi, mendorong tindakan, dan membangun kepercayaan. Selaras dengan WPRF 2024, ia menggarisbawahi peran humas dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya dalam ketahanan dan keberlanjutan masyarakat pedesaan.
“Dengan berkomitmen untuk kebaikan bersama, para profesional dan akademisi humas dapat mendorong perubahan transformatif untuk generasi mendatang,” pungkasnya.
World Public Relations Forum (WPRF) 2024 merupakan forum pertemuan internasional yang merayakan keberagaman dan dinamika profesi humas. Forum ini menekankan pentingnya komunikasi untuk membangun dan menjaga kepercayaan antara organisasi dan publik, sembari membuka peluang untuk berbagi perspektif secara global.
Acara ini menghadirkan total 37 pembicara internasional dan 41 pembicara nasional dalam rangkaian acara yang akan berlangsung selama empat hari. Forum WPRF juga diikuti oleh perwakilan dari 22 negara, termasuk Australia, Bangladesh, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Arab Saudi, Nigeria, dan Afrika Selatan.
Acara ini diselenggarakan oleh Global Alliance for Public Relations and Communications Management dan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), serta bekerja sama dengan Katadata Indonesia. Ini merupakan pertama kalinya Indonesia menjadi tuan rumah acara humas berskala internasional.