AFPI Beberkan Perbedaan Pinjol Ilegal dengan Pindar Berizin
Istilah pinjol kini mulai digantikan dengan pindar untuk mengacu pada layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending.
TEMPO.CO, Bandung - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan pinjaman daring (pindar) berizin berbeda dengan () ilegal. Istilah pinjol kini mulai digantikan dengan pindar untuk mengacu pada Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending.
Ketua Klaster Pendanaan Syariah AFPI Chairul Aslam menjelaskan, ada lima perbedaan mendasar di antara keduanya. Pertama, kata Chairul, ialah soal legalitas. Perusahaan pindar semua berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan ().
Sementara itu, perusahaan pinjol tidak diawasi. “Jadi betul-betul pindar ini adalah sebuah lembaga keuangan yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan,” ucap Chairul dalam acara media gathering di kawasan Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada Rabu, 22 Januari 2025.
Chairul menjelaskan, untuk mendapatkan lisensi pengawasan dari OJK ada aturan-aturan yang perlu dipenuhi oleh perusahaan pindar. Per Desember 2024, lanjut Chairul, ada lima Peraturan OJK baru tentang fintech P2P lending. “Regulasi yang harus dipenuhi, yang harus kami comply itu tidak main-main,” ujarnya.
Kemudian yang kedua, kata Chairul, ialah mengenai pricing atau bunga dan biaya pada perusahaan fintech P2P lending. “Di pindar, kami diatur oleh regulasi SE OJK (Surat Edaran OJK) Nomor 19 Tahun 2023,” kata dia.
Dalam aturan tersebut, tercantum bunga pindar konsumtif untuk tenor pendanaan jangka pendek kurang dari satu tahun ialah sebesar 0,2 persen per hari kalender. Sementara mulai 1 Januari 2026, bunganya turun menjadi 0,1 persen per hari. “Sedangkan pinjol ilegal, itu suka-suka dia,” ucapnya.
Perbedaan ketiga antara pinjol dan pindar ada pada aspek proses penagihannya. Pada perusahaan pindar, penagihan diatur oleh standar etika yang mengikat. Ia menyebut penagihan oleh pinjol kerap dilakukan dengan tidak mengenal waktu.
Adapun perusahaan pindar harus mematuhi sejumlah aturan etik. Chairul mengatakan, perusahaan pindar tidak boleh menagih di hari libur dan jam-jam tertentu seperti pada waktu istirahat.
Keempat, lanjut dia, berkaitan dengan aspek akses data. Pada perusahaan pinjol ilegal, akses terhadap data pengguna biasanya tidak terbatas. Sementara akses data pada perusahaan pindar hanya terbatas pada mikrofon, kamera, dan lokasi. “Kalau ada plikasi apapun yang minta—apalagi yang menyatakan dia pindar—dia meminta akses di luar tiga itu, dapat dipastikan itu adalah bodong, pinjol ilegal,” ujar Chairul.
Adapun perbedaan kelima, kata dia, ialah pada perlindungan hukumnya. Perusahaan-perusahaan pindar yang berizin dan diawasi menyediakan portal pengaduan. Keluhan-keluhan mengenai layanan pindar difasilitasi oleh OJK maupun AFPI sebagai upaya untuk melindungi pengguna. Sementara pada pinjol ilegal, tidak ada sistem aturan yang resmi. “Urusannya dengan debt collector yang tidak ada aturannya, regulasinya,” ujar Chairul.
Ia pun menegaskan AFPI berada di tengah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. “Ada di sisi pendana atau lender, ada sisi penerima dana atau borrower, sehingga masing-masing itu punya hak dan kewajiban,” tutur Chairul.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah mengatakan perubahan istilah pinjol ke pindar merupakan upaya melepaskan konotasi negatif perusahaan-perusaahan fintech P2P lending yang berizin dari perusahaan pinjaman yang ilegal.
“Kami punya spirit mau mendisosiasi bahwa kami memang berbeda dengan pinjol ilegal,” ujar dia. “Pinjol kan tadi, nggak ada aturan, nggak ada regulasi, brutal penagihannya, dan lain-lain.”