Komnas nilai pelaksanaan konvensi menentang penyiksaan masih stagnan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang upaya pelaksanaan konvensi menentang ...
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang upaya pelaksanaan konvensi menentang penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, masih stagnan hingga kini.
"Terasa kita seolah masih berjalan di tempat dengan persoalan yang sama," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin dalam webinar bertajuk "Membongkar Stagnasi Implementasi 25 Tahun Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau Tidak Manusiawi di Indonesia", yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Menurut Mariana Amiruddin, terdapat beberapa permasalahan yang menjadi penyebab tindak penyiksaan dan perlakuan semena-mena masih terus terjadi.
Pertama, penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam proses penangkapan.
"Ketergantungan pada pengakuan sebagai bukti utama kejahatan dan kesulitan dalam membatasi otoritas militer terutama dalam konteks konflik bersenjata, masih terus menjadi momok penghalang untuk mencegah keberulangan penyiksaan. Sementara komitmen untuk memutus impunitas masih lemah dan inisiatif pemulihan korban juga tersendat," kata Mariana Amiruddin.
Kedua, pengawasan yang terbatas dan belum sistematik menjadi faktor yang membuat penyiksaan dan perlakuan semena-mena di ruang-ruang serupa tahanan, seperti di panti kesehatan jiwa, panti asuhan, dan panti rehab narkotika, terus berlangsung.
"Ketiga, pendekatan militeristik, dengan kekerasan dan keinginan balas dendam masih menjadi norma yang hidup di dalam masyarakat," kata Koordinator Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) ini.
Kemudian sulitnya menghapus hukuman mati dan hukuman kebiri kimia. Demikian juga masih adanya pengarakan dan bentuk penghukuman massa lainnya, seperti hukuman cambuk di Aceh.
Kemudian, persoalan aparat penegak hukum yang tidak berperspektif gender sehingga berujung pada perlakuan semena-mena terhadap korban dalam berbagai kasus kekerasan berbasis gender, seperti dalam kasus KDRT, kekerasan seksual, dan perdagangan orang.
KuPP terdiri atas enam lembaga independen, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Indonesia (ORI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Disabilitas (KND), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
KuPP dibentuk sejak tahun 2016 untuk mendorong negara melaksanakan komitmen untuk memenuhi hak masyarakat untuk bebas dari penyiksaan sebagai hak konstitusional yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun.
Baca juga:
Baca juga:
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024