Menciptakan kawasan industri yang berdaya saing
Sejak lama, industri pengolahan atau manufaktur secara konsisten menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Pada ...
![Menciptakan kawasan industri yang berdaya saing](https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2025/02/06/1738830442338.jpg)
Jakarta (ANTARA) - Sejak lama, industri pengolahan atau manufaktur secara konsisten menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Pada tahun lalu misalnya, nilai ekspor industri manufaktur mencapai 196,54 miliar dolar AS, memberikan andil 74,25 persen dari total nilai ekspor nasional yang mencapai 264,70 miliar dolar AS, dengan persentase kenaikan secara tahunan (year on year/yoy) 5,33 persen.
Berikutnya, realisasi investasi industri manufaktur sepanjang tahun 2024 menembus Rp721,3 triliun atau memberikan kontribusi 42,1 persen terhadap total realisasi investasi yang sebesar Rp1.714,2 triliun.
Selain itu, Industri pengolahan nonmigas mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,75 persen sepanjang tahun 2024, dengan akumulasi pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu yakni 5,03 persen.
Industri manufaktur dalam negeri menghadapi tantangan bukan hanya dari sisi eksternal, seperti masifnya produk impor, serta dinamika geopolitik dan perekonomian dunia, namun ada juga tantangan internal, salah satunya yakni infrastruktur penunjang pengusaha perindustrian.
Guna menyiasati hal tersebut, pemerintah membuat kawasan yang dikhususkan bagi pengusaha yang bergerak di bidang manufaktur untuk memudahkan mereka dalam melakukan produksi.
Area khusus tersebut disebut dengan kawasan industri.
Regulasi yang mengatur kawasan industri tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri. Dalam regulasi, perusahaan yang beraktivitas di kawasan industri mendapat beberapa manfaat, misalnya insentif pajak, pembebasan bea masuk, serta infrastruktur yang mendukung.
Dengan dibentuknya kawasan industri, pemerintah percaya area khusus ini bisa menarik banyak investasi sekaligus meningkatkan kinerja dan daya saing industri pengolahan di Tanah Air.
Menurut Himpunan Kawasan Industri (HKI), saat ini ada 118 kawasan industri, terdiri dari 55 kawasan di luar Pulau Jawa, dan 63 kawasan berada di Pulau Jawa.
Meski demikian, himpunan mencatat ada tantangan yang mencolok dalam pengembangan kawasan industri yakni kepastian keamanan, dan tingkat utilitas industri.
Kepastian keamanan
Ketua Umum HKI, Sanny Iskandar menyebut penyebab permasalahan
keamanan di kawasan industri bukan karena pencurian, melainkan
adanya aktivitas premanisme yang dilakukan oleh organisasi
masyarakat (ormas).
Para ormas biasanya sudah menandai kawasan mana yang akan didatangi dan melakukan 'pemaksaan' untuk ikut andil dalam kegiatan perusahaan. Seperti penyedia makanan, jasa penyedia bahan bangunan saat pembuatan pabrik, dan pengelolaan limbah.
Padahal untuk melakukan itu semua, perusahaan biasanya menggunakan sistem lelang agar transparan, dan pihak penyedia yang ditunjuk berkualitas.
Bahkan ada kasus, organisasi masyarakat melakukan penyegelan ke kawasan industri, yang secara regulasi hal tersebut tidak boleh dilakukan mengingat kawasan industri merupakan obyek vital nasional.
Permasalahan ini masif berada di wilayah Cikarang, Karawang, Jawa Timur, dan juga Batam.
Aktivitas premanisme ormas ini, menyebabkan rencana investasi yang hendak masuk, dan investasi yang sudah masuk gagal. Sehingga apabila dihitung secara keseluruhan, negara merugi hingga ratusan triliun rupiah.
Untuk mengatasi hal ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah mencari solusi efektif supaya aktivitas yang mengganggu kinerja kawasan industri teratasi.
Kemenperin mengakui, dalam mengatasi permasalahan ini tidak mudah, namun pemerintah memastikan akan melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga lain, dan juga aparat penegak hukum supaya kasus premanisme yang dilakukan oleh ormas tidak terjadi lagi.
Alokasi khusus HGBT
Salah satu strategi untuk mengatasi permasalahan utilitas di kawasan industri, yakni pemerintah menyiapkan subsidi gas melalui program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Rencananya, harga gas murah bagi industri yang akan ditetapkan oleh pemerintah yakni sebesar 7 dolar AS atau Rp113 ribu (kurs Rp16.270) per million british thermal unit (MMBTU) atau setara 29,41 liter solar.
Untuk saat ini subsidi tersebut masih terbatas untuk tujuh subsektor penerima yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Namun pemerintah mengupayakan agar semua subsektor bisa merasakan manfaat HGBT, khususnya bagi perusahaan yang membangun fasilitas produksi di kawasan industri.
Program HGBT sudah terbukti bisa meningkatkan utilitas sektor penerima. Hal tersebut terlihat dari kontribusi manufaktur terhadap pendapatan nasional yang mencapai 18,98 persen.
Selain itu, United Nation Stats menyebut kontribusi sektor manufaktur (Manufacturing Value Added/MVA) Indonesia terhadap ekonomi global dalam kurun waktu 2014-2022 melebihi pertumbuhan negara-negara maju, yakni mencapai 3,44 persen.
Dari portofolio penerima HGBT, tercatat ada sebanyak 321 perusahaan dengan alokasi gas industri sebesar 1222,03 billion british thermal unit per day (BBTUD), sedangkan alokasi untuk kelistrikan sebesar 1231,22 BBTUD.
Jika dihitung dalam rupiah, modal yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan HGBT untuk tujuh subsektor yakni Rp51,04 triliun.
Namun, nilai tambah bagi perekonomian (value added) yang dihasilkan dari program itu mencapai Rp157,20 triliun atau meningkat hampir tiga kali lipat dari modal awal yang digelontorkan.
Dari ketujuh subsektor industri penerima manfaat HGBT, keseluruhan tercatat mengalami peningkatan nilai tambah ekspor dalam 3 tahun terakhir sebesar Rp84,98 triliun.
Peningkatan pajak juga diperoleh senilai Rp27,81 triliun, serta dampak berkelanjutan dari pemberian HGBT turut mendorong investasi baru sebanyak Rp31,06 triliun.
Hal itu menjadi bukti dari dampak positif yang dihasilkan dari subsidi gas murah industri bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan memberikan jaminan keamanan dari tindak premanisme ormas, dan memberikan ruang khusus subsidi gas bagi perusahaan yang membangun fasilitas di kawasan industri, diharapkan sektor manufaktur tak hanya konsisten menjadi tulang punggung ekonomi, melainkan juga menjadi motor penggerak utama menuju pertumbuhan ekonomi 8 persen sekaligus meningkatkan daya saing perindustrian domestik di mata dunia.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025