Ombudsman soroti mal-administrasi pending claim BPJS Kesehatan

Ombudsman Republik Indonesia menyoroti potensi maladministrasi pending klaim BPJS Kesehatan, karena bisa menghambat ...

Ombudsman soroti mal-administrasi pending claim BPJS Kesehatan

Pangkalpinang (ANTARA) - Ombudsman Republik Indonesia menyoroti potensi maladministrasi pending klaim BPJS Kesehatan, karena bisa menghambat penyediaan alat kesehatan, kefarmasian, logistik penunjang dan jasa layanan medis terstandarisasi kepada masyarakat.

"Sengketa klaim pembiayaan antara ratusan rumah sakit di Jawa Timur dengan BPJS Kesehatan ini merupakan masalah krusial pelayanan publik," kata Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam keterangan pers diterima ANTARA di Pangkalpinang, Minggu.

Ia menyatakan pending klaim pembayaran layanan kesehatan patut dilihat dari segi potensi maladministrasi yang ditimbulkan, karena rumah sakit dan BPJS Kesehatan merupakan pranata layanan publik yang amat vital dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional.

"Pending klaim pembayaran layanan ini tentu muaranya terjadi penundaan berlarut, bahkan tidak diberikannya layanan kesehatan oleh pihak rumah sakit kepada pasien yang dapat mengancam keselamatan jiwanya," ujarnya.

Ia manyampaikan beberapa hal yang harus diperbaiki untuk mengatasi potensi maladministrasi pending klaim BPJS Kesehatan. Pertama, pemerintah wajib mengantisipasi sengketa klaim agar tidak menimbulkan maladministrasi layanan kepada pasien.

“Pemerintah harus memastikan semua pihak sungguh menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak, merujuk Permenkes Nomor 3 Tahun 2023. Rumah sakit mengajukan klaim sesuai ketentuan, lalu berdasarkan administrasi yang benar dan lengkap maka pihak BPJS melakukan verifikasi dan membayarkan klaim layanan kesehatan tepat waktu,” terangnya.

Kedua, BPJS Kesehatan mesti lebih transparan ke pihak pemda dan membangun komunikasi dengan organisasi perhimpunan rumah sakit apabila ada potensi hambatan klaim rumah sakit.

"Harus diakui, pihak BPJS saat ini cenderung pasif, kurang persuasif dan membiarkan masalah sengketa klaim ini terus menumpuk, padahal berlarutnya pembayaran klaim jelas berdampak terhadap merosotnya kualitas pelayanan kesehatan," katanya.

Ketiga, rumah sakit mesti lebih akuntabel dan terus diawasi agar tidak melakukan fraud dalam klaim tarif INA-CBGs. Pembayaran klaim itu hak setiap fasyankes yang telah melaksanakan kewajiban pelayanannya.

"Rumah sakit wajib memastikan laporan administrasi layanan sudah sesuai standar dan bebas dari tindak kecurangan seperti klaim fiktif, manipulasi diagnosis dan praktik fraud lainnya,” tegas Robert.

Keempat, pemda diminta untuk lebih proaktif dalam merespon pending claim ini. Pemerintah tidak semata hanya berperan sebagai mediator saat sengketa sudah terjadi. Peran sebagai pemadam kebakaran tersebut harus dilapisi dengan upaya-upaya preventif.

"Pada ranah kebijakan, kami minta pemda memitigasi potensi sengketa dengan membuat perkada ihwal sanksi terhadap pihak yang tidak memenuhi kewajibannya. Selanjutnya pada ranah pengawasan pihak Pemda perlu melakukan pemantauan terhadap proses klaim secara rutin,” katanya.

Kelima, klaim pembayaran pelayanan kesehatan harus bebas maladministrasi dan terlaksana sesuai dengan standar tata kelola yang akuntabel. Kasus di Jatim ditengarai juga terjadi di daerah-daerah lain.

"Kami minta Kementerian Kesehatan lakukan evaluasi tuntas atas klaim fasyankes ke BPJS sejak laporan pelaksanaan layanan hingga penetapan status klaim. Selanjutnya, dapat lebih tegas melakukan penegakan hukum dan pemberian sanksi bagi para pihak yang melakukan maladministrasi," katanya.

Baca juga:

Baca juga:

Pewarta: Aprionis
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025