Peneliti Antikorupsi Sebut Perlu Pengawasan Berlapis di Tubuh Peradilan, Harus Libatkan Publik

Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman menekankan bahwa pengawasan internal tidak cukup untuk mencegah praktik korupsi di peradilan.

Peneliti Antikorupsi Sebut Perlu Pengawasan Berlapis di Tubuh Peradilan, Harus Libatkan Publik

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, , memunculkan pentingnya pengawasan berlapis dalam lembaga peradilan. Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menekankan bahwa pengawasan internal saja tidak cukup untuk mencegah praktik korupsi di peradilan Tanah Air.

"Kalau kemudian kecenderungan peradilan atau Mahkamah Agung itu menginternalisasi perkara, itu sama dengan mengundang kecurigaan seolah-olah internalisasi perkara itu adalah upaya yang hendak menyembunyikan kejahatan di dalam Mahkamah Agung," kata Herdiansyah saat dihubungi Senin, 20 Januari 2025.

Ia menambahkan bahwa pengawasan eksternal, termasuk partisipasi publik, sangat diperlukan. Namun, hal tersebut juga harus didukung dengan keterbukaan informasi dari lembaga peradilan.

Sebelumnya, telah menjatuhkan sanksi etik berat kepada Rudi Suparmono berupa pencopotan dari jabatan Ketua PN Surabaya dan penonaktifan sebagai hakim. 

Rudi sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua PN Surabaya saat ditangkap. Ketika ditetapkan sebagai tersangka, Rudi berstatus sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Palembang, namun belum sempat dilakukan pelantikan secara resmi.

Rudi lebih dulu dikenai sanksi etik berat oleh Mahkamah Agung perihal vonis bebas Ronald Tannur. Sanksi itu disampaikan Yanto pada 2 Januari 2025, namun tidak dijelaskan tindakan apa yang menyebabkan Rudi mendapat sanksi etik berat.

Pemberian sanksi itu merupakan hasil dari perkembangan penyelidikan tim yang dibentuk oleh Badan Pengawas MA. Tim ini dibentuk untuk merespons dugaan pelanggaran etik terhadap vonis bebas Ronald Tannur di pengadilan tingkat pertama. 

Selain Rudi, Bawas MA juga telah menjatuhkan sanksi etik ringan kepada mantan Wakil Ketua PN Surabaya Dju Johnson Mira Mangngi dan sanksi etik berat kepada tiga mantan pegawai PN Surabaya yakni: RA, Y dan UA. 

Perihal keterlibatan Rudi Suparmono di vonis bebas Ronald Tannur antara lain: menerima uang suap Sing$ 20 ribu dan Sing$ 43 ribu. Ia juga disebut ikut kongkalikong atas penentuan komposisi majelis hakim di perkara Ronald dengan tujuan meloloskannya dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau penganiayaan dan pembunuhan Dini Sera. 

Kejaksaan Agung juga telah menangkap tiga hakim PN Surabaya yang memutus bebas Ronald Tannur menyoal dugaan suap. Tiga di antaranya adalah majelis hakim yang memutus bebas Ronald, yakni: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Mereka sudah berstatus terdakwa dan perkaranya sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat. Herdiansyah berharap kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat sistem pengawasan di tubuh peradilan dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum di Indonesia.