Peneliti UIN: Transisi Penyelenggara Haji di 2026 dari Kemenag ke BP Haji Perlu Pengawasan Ketat

Dadi Darmadi menilai langkah tersebut bisa menjadi reformasi paling progresif dalam tata kelola ibadah haji di Indonesia modern.

Peneliti UIN: Transisi Penyelenggara Haji di 2026 dari Kemenag ke BP Haji Perlu Pengawasan Ketat

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Haji dan Umroh dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi mewanti-wanti proses pengalihan penyelenggaraan dari Kementerian Agama (Kemenag) ke Badan Penyelenggara Haji (BPH) mulai tahun 2026 agar diawasi secara ketat. Hal ini, kata dia, guna menghindari terciptanya tantangan baru.

Menurut Dadi, selama ini pengelolaan ibadah haji menghadapi sejumlah tantangan, seperti transparansi dalam pengelolaan dana, alokasi kuota hingga fasilitas di Tanah Suci. “Dengan pembentukan BPH, kita berharap ada perbaikan signifikan, tetapi itu hanya mungkin jika dilakukan secara terencana dan akuntabel,” kata dia seperti tertulis dalam keterangan resmi, Ahad, 19 Januari 2025. 

Sebelumnya, pelaksanaan ibadah haji diurus oleh Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Mulai 2026, penyelenggaraan haji akan dilaksanakan oleh BP Haji. Presiden Prabowo menunjuk Mochammad Irfan Yusuf sebagai Kepala BPH dan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai wakilnya. Tahun ini, persiapan ibadah haji telah berjalan di bawah koordinasi Kemenag.

Lebih lanjut, Dadi Darmadi menilai langkah tersebut bisa menjadi reformasi paling progresif dalam tata kelola ibadah haji di Indonesia modern. Ia memberikan beberapa catatan yang memerlukan perbaikan sebagai upaya menjadikan pelayanan haji berorientasi pada kebutuhan jemaah.

Pertama, reformasi tata kelola dan transparansi. Menurut dia, salah satu masalah penyelenggaraan ibadah haji selama ini adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana haji dan distribusi kuota.

“Kasus pengalihan kuota tambahan yang ramai dibicarakan pada 2024 menjadi pengingat bahwa regulasi harus diperketat untuk memastikan keadilan dan mencegah penyimpangan,” kata Dadi.

Kedua, perbaikan fasilitas di Tanah Suci. Dadi menyoroti kepadatan di Mina dan Arafah serta minimnya fasilitas sanitasi di Tanah Suci sebagai suatu permasalahan kronis yang membutuhkan upaya mitigasi. Oleh karena itu, kata dia, diperlukan adanya sinergi yang lebih kuat antara pemerintah Indonesia dan otoritas Arab Saudi demi memastikan fasilitas dan logistik tidak hanya cukup, tetapi juga memenuhi standar kenyamanan dan keselamatan jemaah haji. 

Ketiga, peningkatan pelatihan jemaah haji. Dadi juga menyoroti pentingnya pelatihan yang lebih baik bagi jemaah, termasuk dari aspek teknis dan spiritual. “Sayang sekali jika manasik haji hanya menjadi rutinitas formalitas. Padahal, pemahaman jemaah tentang ibadah dan tantangan di lapangan sangat krusial untuk keamanan dan kenyamanan mereka selama haji,” kata Dadi.  

Keempat, pengawasan yang independen. Dirinya menekankan pentingnya pengawasan independen dalam penyelenggaraan haji, terutama ketika nanti BPH mulai beroperasi. “Kita membutuhkan pengawas yang independen dan memiliki kredibilitas untuk kebaikan BPH sebagai lembaga berwibawa ke depannya, dan memastikan bahwa layanan tetap berorientasi pada kebutuhan jemaah, bukan yang lain,” kata Dadi.