Bahas Pajak Karbon, Menteri Lingkungan Hidup Segera Temui Sri Mulyani Pekan Ini
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan akan menemui Menteri Keuangan Sri Mulyani minggu ini.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan akan menemui Menteri Keuangan Sri Mulyani minggu ini. Hal tersebut dilakukan demi membahas perihal implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral akan mendorong perkembangan bursa karbon.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, dalam pertemuan tersebut, baik KLH maupun BPLH akan menyampaikan evaluasi pajak karbon dan batas atas emisi. Meskipun Peraturan Pemerintah (PP) terkait pajak karbon sudah disiapkan, kata Hanif, penerapannya masih belum direalisasikan. Adapun pertemuan tersebut rencananya akan berlangsung dalam waktu dekat.
"Saya akan menghadap Ibu Menteri Keuangan untuk diskusi, jadi teman-teman dari BPLH akan menjadwalkan segera, mulai-mulai minggu ini bisa ada waktu beliau " kata Hanif kepada wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (20/).
Selain itu, Hanif juga berharap agar Kementerian Keuangan dapat memperhatikan dan mempertimbangkan penerapan pajak karbon. Ia menilai bahwa pajak karbon sangat penting untuk diterapkan guna membangun pasar investasi berskala besar yang didominasi oleh investor asing.
“Pajak karbon ini penting untuk membangun pasar,” tambah Hanif.
Indonesia kini juga telah resmi memulai perdagangan karbon internasional pada hari ini, Senin (20/1). Unit karbon yang telah disetujui sebanyak 1.780.000 ton CO2e berasal dari sektor energi. Beberapa proyek yang terlibat antara lain Pengoperasian Pembangkit Listrik Baru Berbahan Bakar Gas Bumi PLTGU Priok Blok 4, Konversi Pembangkit Single Cycle Menjadi Combined Cycle (Add On) PLTGU Grati Blok 2, serta Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Air Minihidro (PLTM) Gunung Wugul dan beberapa lainnya.
Adapun berdasarkan data IDXCarbon, sepanjang 26 September 2023 - 17 Januari 2024, volume Perdagangan IDX Carbon tergolong sepi, sebesar 1,131 juta tCO2e, nilai Perdagangan Rp 58,868 miliar, 6 Project Listed Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK), dan 104 pengguna jasa.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan strateginya demi mendorong pengembangan bursa karbon pada 2025. Ia menyebut implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral akan mendorong perkembangan bursa karbon.
Ia juga menambahkan akhir-akhir ini, banyak pembicaraan mengenai pajak karbon yang kini jadi masalah. Karena itu, Sri Mulyani akan terus berkoordinasi dengan kementerian-kementerian terkait, termasuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Hal ini akan terus kami perkuat, termasuk (koordinasi) dengan berbagai instansi seperti Kementerian ESDM dan bahkan sektor transportasi,” kata Sri Mulyani dalam Pembukaan Perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) 2025, di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (2/1).
Penyebab Sepinya Bursa Karbon
Sebelumnya Bursa Efek Indonesia (BEI) membeberkan alasan bursa karbon sepi. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa, Irvan Susandy, mengatakan salah satu faktor keberhasilan bursa karbon di beberapa negara adalah adanya pajak karbon.
Menurut dia, aktivitas pajak bursa karbon akan naik apabila pajak karbon ditetapkan dan nilainya lebih tinggi daripada harga jual beli karbon di pasar.
“Jadi salah satu yang kami harapkan adalah adanya karbon tax agar bursa karbonnya ramai,” kata Irvan kepada wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (19/9).
Di samping itu, Irfan mengatakan, masih diperlukan banyak sosialisasi dan edukasi mengenai emisi karbon. Bursa Efek Indonesia juga perlu melakukan koordinasi dengan kementerian terkait emisi karbon.
Dengan adanya bursa karbon, diharapkan menjadi salah satu infrastruktur yang dapat menunjang proses pengurangan emisi karbon di Indonesia. Dia berharap koordinasi terus dilakukan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pemerintah, dan OJK untuk mendukung pengurangan emisi karbon melalui bursa karbon.
“Karena banyak faktor yang di luar kontrol kami sebagai bursa, termasuk kebijakan pemerintah, carbon tax, dan lain-lain,” ucapnya.