Masyarakat Sipil Ragukan Klaim Pemerintah Soal Deforestasi Hutan Cadangan Pangan

Sebelumnya Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menjelaskan pembukaan 20 juta ha hutan pangan bukan deforestasi, melainkan tumpang sari.

Masyarakat Sipil Ragukan Klaim Pemerintah Soal Deforestasi Hutan Cadangan Pangan

Rencana pemerintah membuka 20 juta hektare hutan pangan dinilai justru akan menjauhkan Indonesia dari cita-cita ketahanan pangan dan energi. 

Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien mengatakan produksi bahan bakar nabati, seperti sawit, perlu memperhatikan daya dukung lingkungan. Riset Satya Bhumi pada 2024 menyebut daya dukung lingkungan sawit hanya 18,15 juta ha. Adapun berdasarkan data MapBiomas 2022, luas perkebunan sawit saat ini sudah mencapai 17,77 juta ha.

“Rencana perluasan 20 juta hektare lahan ini berpotensi menambah luas perkebunan sawit existing hingga lebih dari dua kali lipat dari kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan,” ujar Andi, dalam keterangan resmi, Senin (20/1). 

Sementara itu, Amalya Reza Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia menjelaskan hutan tanaman energi (HTE) yang saat ini sedang dikejar pemerintah saja sudah memicu deforestasi.  Ia menghitung untuk memenuhi kebutuhan 10 juta ton pelet kayu, setidaknya akan terjadi 1 juta hektare deforestasi. Belum lagi jika ada permintaan pasar ekspor. 

“Jadi kalau rezim ini mau mengalokasikan hutan 20 juta ha untuk kebutuhan pangan dan energi serta mengklaim bahwa tidak akan mengakibatkan deforestasi, maka itu adalah klaim yang keliru,” katanya. 

Data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024 menjelaskan dari mana 20 juta haitu akan didapatkan. Sebanyak 15,53 juta ha dari lahan belum berizin, ditambah 5,07 juta ha yang sudah berizin. Yang sudah berizin di dalamnya termasuk perhutanan sosial sekitar 1,9 juta ha. Sementara yang belum berizin dengan total 15,53 juta ha, itu rinciannya 2,29 juta ha hutan lindung dan 13,24 juta ha hutan produksi. 

Tidak hanya memicu deforestasi, organisasi masyarakat sipil juga mengkhawatirkan pembukaan 20 juta ha lahan akan memicu bencana ekologis. Dari 3,3 juta hektare lahan yang direncanakan diputihkan, 407.267 ha masuk dalam Kesatuan Hidrologis Gambut dengan 84%-nya berada di fungsi lindung.

“Monokultur sawit menyebabkan deforestasi, kerusakan hidrologis, pelepasan emisi besar, banjir, dan kekeringan,” ujar Abas. 

Sebelumnya, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni membantah isu soal pemerintah hendak melakukan deforestasi 20,6 juta hektare hutan. Menurutnya, pemerintah tidak akan melakukan deforestasi, melainkan melakukan tumpang sari. Dia mengatakan, pola tumpang sari tidak akan mengorbankan hutan, justru mengoptimalkan fungsinya. 

“Jadi idenya justru di 20,6 juta hektare ini tetap menjadi kawasan hutan bukan hutannya dibuka, bukan dirusak, bukan dilakukan deforestasi, tapi memaksimalkan fungsi hutan,” kata dia Kamis (16/1).

Ia mengatakan hutan tersebut selanjutnya bisa tumpang sari dengan tanaman pangan, seperti jagung dan padi. "Jadi boleh nanti menanam jati, menanam sengon, tapi di bawahnya ditanam padi gogo atau jagung,” katanya. 

Ia menjelaskan awalnya terdapat nomenklatur yang mengatur hutan cadangan pangan dan air. Setelah diidentifikasi, ada sekitar 20,6 juta hektare tanah yang dapat dimaksimalkan fungsi hutannya dengan menanam tanaman-tanaman pangan maupun energi.