Modus Penipuan Pinjaman Online Comot Identitas Yayasan Agama
Modus Penipuan Pinjaman Online Comot Identitas Yayasan Agama. ????Modus penipuan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Salah satunya adalah modus penipuan pinjaman online yang mengatasnamakan yayasan agama. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp
Surabaya (beritajatim.com) – Modus penipuan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Salah satunya adalah modus penipuan dengan memberikan pinjaman online yang mengatasnamakan yayasan agama.
Dari pengamatan Beritajatim.com di media sosial, ada lebih dari 10 akun yang mempromosikan pinjaman dana dengan mengatasnamakan yayasan keagamaan. Baik di media sosial TikTok dan Instagram. Mereka kebanyakan mencantumkan nama Al-Falah yang merujuk pada kata yang sering digunakan umat muslim yang berarti keberhasilan, kemenangan, atau kebahagiaan. Dari segi logo, para penipu menggunakan background hijau dengan lambang seperti buku yang terbuka dan sedikit tulisan arab.
Penawaran yang diiklankan pun cukup menarik. Mereka bisa melayani pinjaman mulai 5 juta – 500 juta dengan hanya membayar saat awal bulan Ramadhan. Tanpa bunga, dan menegaskan tidak melibatkan riba. Lagi-lagi simbol agama Islam digunakan oleh para pelaku.
Beritajatim mencoba menghubungi salah satu akun dan menanyakan persyaratan untuk meminjam. Ketika pertama kali mengklik bio di salah satu akun TikTok Pinjaman Yayasan Al-Falah, Beritajatim.com diarahkan ke salah satu nomor dengan nama kontak Pinjaman Pondok Pesantren Yayasan Al-Falah dengan nomor 0857-5740-5625. Setelah dikontak dengan menyampaikan tujuan ingin pinjam dana online, akun Whatsapp itu akan memberikan keterangan bahwa Beritajatim.com tersambung dengan seorang yang mengaku Ustadz dan pimpinan yayasan Pinjaman Dana Al Falah bernama Fauzi.
Walaupun sudah menyampaikan maksud ingin meminjam uang, Beritajatim.com diminta untuk menambahkan kontak/menyimpan nomor Pondok Pesantren Yayasan Al-Falah. Hal itu agar pihak pelaku bisa melihat aktivitas dan akan menghubungi pembayaran lewat status WA.
Beritajatim.com lantas melakukan arahan pihak Pondok Pesantren Yayasan Al-Falah. Ketika selesai, Beritajatim.com di kirimkan persyaratan pinjaman dengan brosur yang berisi penjelasan skema peminjaman. Selain itu, pihak pemberi pinjaman juga mengirimkan video testimoni dari sejumlah orang yang menjelaskan bahwa layanan pinjaman yang mereka adalah asli. Tidak lupa, mereka juga mengirimkan gambar yang memuat logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seolah-olah layanan pinjaman mereka telah diverifikasi oleh OJK.
Untuk melakukan pinjaman, Beritajatim.com diminta untuk mengirimkan identitas pribadi seperti foto KTP, Foto Kartu Keluarga dan Foto halaman pertama buku tabungan. Lalu membayar biaya admin mulai Rp 250 ribu – Rp 350 ribu.
Beritajatim.com lantas menelusuri alamat kantor pihak yang mengatasnamakan Pinjaman Yayasan Al-Falah. Dari hasil penelusuran, diketahui alamat kantor berada di salah satu kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Tempat itu diberi rating bintang 2 dan dipenuhi ulasan ratusan netizen diduga korban penipuan lembaga yang sama.
Beritajatim.com juga mengecek nama Pinjaman Pondok Pesantren Yayasan Al-Falah ke OJK. Hasilnya, nama serupa pernah dinyatakan hoaks oleh OJK namun lokasi kantornya berada di Bondowoso.
Menanggapi fenomena ini, pakar digital dari Stikosa AWS, Hendro D Laksono mengatakan para pelaku penipuan dengan mencomot identitas keagamaan memiliki peluang lebih besar untuk mendapat kepercayaan masyarakat. Ikatan emosional dan spiritual terhadap agama di Indonesia sangat besar.
“Agama dianggap sebagai sumber kebenaran, kejujuran, dan moralitas. Ketika penipu menggunakan nama atau simbol agama, mereka otomatis mendapatkan kepercayaan lebih besar dari masyarakat yang memiliki ikatan emosional dan spiritual terhadap agama tersebut,” kata Hendro diwawancarai Beritajatim.com, Senin (20/01/2025).
Menurut Hendro, Agama juga menciptakan rasa kebersamaan. Orang merasa lebih dekat dan percaya pada individu atau kelompok yang mengidentifikasi diri dengan kepercayaan mereka. Akun-akun media sosial yang mengatasnamakan yayasan keagamaan sering membangun hubungan personal melalui konten yang menyentuh emosi, seperti cerita sedih, doa bersama, atau ajakan berbuat baik.
“Mereka juga aktif membuat pesan-pesan seperti membantu orang miskin akan mendatangkan berkah atau donasi kecil bisa menyelamatkan jiwa, memanfaatkan rasa tanggung jawab religius untuk mempengaruhi perilaku,” imbuhnya.
Keberadaan para pelaku penipu mengatasnamakan agama linier dengan kelompok masyarakat dengan kondisi ekonomi sulit dan tingkat pendidikan menengah kebawah. Kelompok ini lebih mudah terpengaruh oleh janji bantuan atau mendapat pahala besar.
“Hal ini sering dilakukan tanpa verifikasi lebih lanjut karena dorongan emosional. Mereka enggan menanyakan keaslian atau memverifikasi informasi dari akun berbasis agama bisa dianggap tidak sopan atau kurang iman,” jelas Hendro.
Hendro menegaskan walaupun telah banyak himbauan terkait modus penipuan serupa, namun masih banyak masyarakat menjadi korban. Hal ini karena, banyak akun penipu itu yang mencomot foto atau dokumentasi dari lembaga yayasan kredibel dan diklaim sebagai kegiatan lembaga yang menipu. Selain itu, Media sosial memungkinkan pesan menjangkau audiens luas dengan biaya rendah.
“Ada teori, namanya bubble theory. Ada yang menyebut filter bubble. Yakni algoritma yang menampilkan konten sesuai dengan preferensi pengguna media sosial. Algoritma ini dapat membuat pengguna terisolasi dari informasi yang berbeda, sehingga dapat mempersempit pandangan dan memperkuat polarisasi,” terang Hendro.
Ketika informasi hoaks itu dikonsumsi oleh pengguna yang punya keyakinan sendiri dan terpolarisasi, maka pengguna akan terisolasi dari informasi yang berbeda atau informasi pembanding. Sehingga, kemampuan berpikir kritis menurun dan menyebabkan bias kognitif (kondisi yang terjadi ketika alam bawah sadar salah dalam berpikir). Akibatnya, seseorang bisa mengambil keputusan yang tidak rasional. “Jadi yang namanya seruan, akan kalah dengan cara pandang emosional. Imbauan kalah dengan keyakinan dasar,” tutup Hendro. (ang/kun)