Jumlah Penduduk Miskin Merosot Tapi Kenapa Masih Banyak yang Hidup Susah?

BPS mencatat penurunan terendah angka jumlah penduduk miskin di Indonesia, namun isu kesenjangan pendapatan, standar garis kemiskinan, dan ketidakcukupan bansos masih berlanjut.

Jumlah Penduduk Miskin Merosot Tapi Kenapa Masih Banyak yang Hidup Susah?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2024 mencapai 24,06 juta orang. Angka ini menurun 1,16 juta orang dibandingkan Maret tahun yang sama dan menurun 1,84 juta orang terhadap Maret 2023.

Jika dilihat persentasenya, BPS melaporkan tingkat pada periode tersebut mencapai 8,57% persen. Angka ini menurun 0,46% persen poin terhadap Maret 2024 dan menurun 0,79% poin terhadap Maret 2023.

“Tingkat kemiskinan pada September 2024 sebesar 8,57% ini menjadi pencapaian terendah di Indonesia sejak pertama kalinya angka kemiskinan diumumkan oleh BPS pada 1960,” kata Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/1).

Meski jumlah penduduk miskin merosot namun masih banyak masyarakat yang kesusahan. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan hal itu dikarenakan data angka kemiskinan dibuat berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan yang terlalu rendah jika dibandingkan dengan standar internasional.

Garis kemiskinan nasional yang dipakai BPS per September 2024 adalah Rp 595.242 per kapita per bulan. Nilai ini mencerminkan komposisi makanan sebesar Rp 443.433 dan bukan makanan Rp 151.809.

Jika menggunakan standar Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia jauh lebih besar dari yang dirilis BPS. “Itu kenapa, kita melihat banyak sekali orang susah tapi sesuai data BPS yang miskin hanya sekitar 8%-an saja,” kata Media kepada Katadata.co.id, Senin (20/1).

Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan berbasis pada nilai daya beli yang setara di berbagai negara. Organisasi ini membagi garis kemiskinan global ke dalam beberapa kategori berdasarkan tingkat pendapatan negara.

Untuk garis ekstrem kemiskinan dihitung dengan individu yang hidup kurang dari US$ 2,15 per hari atau sekitar Rp 35.194 per hari (menggunakan kurs JISDOR 20 Januari 2024 Rp 16.372 per dolar Ameria Serikat)) atau sekitar Rp 1,09 juta per bulan. Ini merupakan garis kemiskinan yang digunakan di negara-negara berpenghasilan rendah.

Lalu untuk garis kemiskinan menengah ke bawah dihitung dengan individu yang hidup dengan pengeluaran kurang dari US 3,65 per hari. Angka ini setara Rp 59.757 per hari atau Rp 1,85 juta per bulan.

Indonesia seharusnya memakai garis kemiskinan menengah ke atas. Kategori ini lebih sering digunakan untuk negara-negara berpendapatan menengah.

Dalam kategori kemiskinan menengah ke atas dihitung dengan pengeluaran individu kurang dari US$ 6,85 per hari. Angka ini setara Rop 99.623 per hari atau Rp 3,08 juta per bulan.

Perlinsos Tidak Tepat Sasaran

Media juga mengungkapkan ada banyak potensi penyebab kemiskinan atau ketidaksejahteraan paling tinggi. Salah satunya karena memang banyak program perlindungan sosial (perlinsos) yang tidak tepat sasaran.

“Program yang paling tepat sasaran dibanding lainnya itu hanya program keluarga harapan (PKH),”  kata Media.

Masalah itu velum lagi ditambah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang masih banyak dinikmati orang kaya. “Sehingga perlinsos yang betul-betul sampai ke masyarakat tidak signifikan jumlahnya,” ucap Media.

Upah Murah

Media juga mengatakan terdapat permasalahan besar lainnya yang berdampak kepada tingkat kemiskinan masyarakat, yaitu tingkat upah. “Ada masalah besar terkait ketenagakerjaan. Regulasi yang tidak adil terhadap buruh,” ucap Media.

Kondisi itu membuat rezim upah murah masih berlangsung. Pada akhirnya banyak masyarakat yang terjebak dalam utang.

“Banyak yang terjebak utang dalam waktu panjang di luar kemampuan keuangan mereka. Ada kredit pemilikan rumah, pinjaman online, utang pendidikan anak, dan lainnya,” ujar Media.  

Terbantu Bansos dan Masa Pemilu

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia melihat penurunan jumlah penduduk miskin pada September 2024 karena dipengaruhi bantuan sosial (bansos) dan masa pemilihan umum (pemilu). Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan penurunan hanya terlihat pada September dibandingkan Maret 2024.

“Sementara yang terjadi selama 2024, terutama menjelang pemilu adalah lebih banyak sebetulnya karena penyaluran dari bansos,” kata Faisal.

Bansos pada masa tersebut meningkat di mana-mana. Ini termasuk di antaranya yang biasanya juga terjadi menjelang pesta demokrasi.

Hal itu yang kemudian banyak membantu penduduk miskin yang di bawah garis kemiskinan. Dengan begitu dari tingkat pengeluaran kelompok masyarakat tersebut meningkat yang tadinya di bawah garis kemiskinan menjadi di atasnya.

“Tapi apakah ini kemudian bagus? Paling tidak ini tidak sustainable (berkelanjutan) karena masih bergantung kepada charity (sumbangan) atau cash transfer (transfer uang tunai) dari pemerintah. Bukan karena perekonomiannya secara mandiri itu lebih berdaya,” ujar Faisal.

Ketimpangan Meningkat

Ekonom Celios Nailul Huda melihat ada penyebab lain yang memperlihatkan masih banyaknya masyarakat yang susah meski angka kemiskinan turun. Hal ini dikarenakan ketimpangan yang meningkat.

“Karena dari sisi ketimpangan justru meningkat. Ini artinya ada orang miskin yang tidak terangkut ke kategori tidak miskin,” ucap Huda.

Terdapat exclusion error yang menyebabkan tidak semua orang mendapatkan bansos. Lalu pada akhirnya ketimpangan melebar.

BPS mencatat adanya peningkatan ketimpangan pendapatan yang diukur melalui gini ratio. Pada September 2024, gini ratio Indonesia mencapai 0,381, meningkat dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 0,379.

Gini ratio adalah ukuran statistik yang menggambarkan ketimpangan distribusi pendapatan dalam suatu masyarakat. Nilainya berkisar dari 0 hingga 1, di mana 0 menunjukkan distribusi pendapatan yang sepenuhnya merata.

Sedangkan angka  1 mencerminkan ketimpangan maksimal, di mana seluruh pendapatan dikuasai oleh satu pihak. Peningkatan gini ratio menunjukkan ketimpangan yang semakin besar.