Indonesia Menang Sengketa Biodiesel di WTO, Gapki Sangsi Ekspor ke UE Bakal Naik
Gapki menyebut kebijakan alih fungsi kelapa sawit berisiko tinggi masih menjadi hambatan ekspor biodiesel ke Uni Eropa.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan ekspor biodiesel ke Uni Eropa tidak akan serta merta naik meskipun Indonesia baru saja memenangkan sengketa dagang terkait biodiesel di World Trade Organisation.
Seperti diketahui, Indonesia Dispute Settlement Body (DSB) WTO memenangkan Indonesia atas Uni Eropa atas perkara sengketa dagang biodiesel. Gugatan ini pertama kali dilayangkan ke WTO pada 2019 terkait dengan implementasi kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation Uni Eropa, serta kebijakan Prancis yang menjadi hambatan akses pasar kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel. Hambatan tersebut terkait pembatasan konsumsi biofuel berbahan baku kelapa sawit sebesar 7%, kriteria (high ILUCr isk), dan ketentuan penghentian penggunaan biofuel berbahan baku kelapa sawit secara bertahap (phase out).
Dalam putusan yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025, panel WTO menyatakan Uni Eropa melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap bahan bakar nabati (BBN) alias biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia, dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari benua tersebut, seperti grapeseed dan bunga matahari.
Uni Eropa juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain, seperti kedelai. Selain itu, panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk), serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam RED II
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan pihaknya menunggu bagaimana langkah pemerintah selanjutnya setelah putusan ini. “Apakah seperti yang dilakukan Malaysia dengan melakukan pembicaraan lagi dengan Uni Eropa untuk menindaklanjuti?,” katanya kepada Katadata, Senin (20/1).
Eddy mengatakan kecuali putusan WTO tersebut diajukan banding, maka ketentuan ini harus segera diadopsi dalam jangka 60 hari ke depan. Jika tidak dapat disepakati, maka seorang arbitrator akan mengambil keputusan.
Kendati demikian, ia menyebut putusan ini tidak akan berpengaruh besar terhadap alur ekspor CPO dan turunannya ke Uni Eropa. Apalagi berdasarkan data Gapki, ekspor produk CPO Indonesia ke Eropa menurun pada 2024 dibandingkan dengan 2023.
Eddy beralasan putusan ini masih akan bergantung apakah Uni Eropa akan menerima putusan ini atau tidak. Selain itu, ia menyebut masih ada aturan ILUC yang membuat ekspor biodiesel ke UE harus mengantongi sertifikasi Low ILUC yang rumit. “Jadi ini yang membuat [ekspor biodiesel] tidak serta merta naik,” katanya.