Perumus UU Tipikor Usul Revisi Pasal 2 dan Pasal 3 demi Cegah Kriminalisasi
Romli Atmasasmita, tim perumus UU Tipikor, menyarankan revisi pada Pasal 2 dan 3 karena pemaknaan kerugian negara terlalu luas
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita mengusulkan agar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi direvisi. Ini karena dua pasal dalam dinilai sarat kontroversi.
Romli, yang juga merupakan Tim Perumus Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK, menyarankan agar dua pasal tersebut direvisi.
Romli menjelaskan ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 memiliki cakupan sangat luas. Ia mengkhawatirkan, setiap kerugian negara akan dipandang sebagai unsur tindak pidana korupsi.
"Jangan-jangan, hanya kerugian negara semua dihantam habis," kata Romli pada acara seminar bertajuk 'Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi'," yang digelar Lembaga Kajian Hukum UI Bersama Katadata Insight Center (KIC), di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11).
Dia menyinggung keberadaan aturan tersebut bisa membuat menteri dibui tanpa kesalahan. Padahal, awalnya pasal tersebut dirumuskan di tengah kesulitan ekonomi Indonesia.
"Sekarang dengan Pasal 3, kebijakan menteri bisa dikriminalisasi," kata Romli.
Kedua Pasal dalam UU tipikot itu belakangan dinilai kontroversi, saat ini sejumlah pihak pun tengah mengajukan ujj materi berkaitan dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Sebagai bagian dari tim perumus UU Tipikor, Romli mengusulkan agar kedua pasal itu tak dihapus, namun direvisi. "Bisa jadi bumerang bagi pemerintahan Prabowo jika dihapus, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor," kata dia.
Pasal 2 UU Tipikor berbunyi:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan Pasal 3 UU Tipikor berbunyi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam pemaparannya, Romli menjelaskan pelaksanaan Pasal 2 memerlukan unsur perbuatan melawan hukum sebagai landasan kerugian negara. Sedangkan pelaksanaan Pasal 3 harus memenuhi unsur kesengajaan sebagai pijakan kerugian negara.
Ia lalu merujuk kepada Pasal 14 yang memberikan kepastian sanksi jika pelanggaran yang dibuat tak termasuk UU Tipikor. "Artinya membatasi penegak hukum untuk berhati-hati," katanya.
Dua Pasal Telah Digugat
Adapun, dua Pasal dalam Undang-undang Nomor 31/1999 juncto Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) digugat ke Mahkamah Konstitusi pada Senin (23/9).
Uji materi diajukan oleh tiga orang pemohon terdiri dari mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dan mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron Kukuh Kertasafari.
Permohonan atas uji materi 2 Pasal di UU Tipikor itu disampaikan oleh kuasa hukum yang ditunjuk yaitu Maqdir Ismail, Illian Deta Arta Sari dan Annissa Ismail.
Maqdir mengatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpeluang membuka ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi bila digunakan hanya berfokus pada soal kerugian negara.
Maqdir mengatakan adanya frasa kerugian negara yang dijadikan tolok ukur sebuah tindak pidana korupsi tidak selalu relevan dalam perkara korupsi yang tengah diusut penegak hukum. Penggunaan delik kerugian negara menurut Maqdir berpotensi menyulitkan posisi seorang pengambil kebijakan.
“Korupsi itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Tapi yang menjadi persoalan pokok adalah jangan sampai pemberantasan korupsi ini menimbulkan ketidakadilan baru,” ujar Maqdir saat memberikan penjelasan kepada wartawan di Gedung MK.
Menurut Maqdir dalam pemberantasan korupsi penegak hukum harus lebih fokus pada adanya kejahatan. Kejahatan yang ia maksud berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau kongkalikong dan suap menyuap.