RealityCheck Dorong Kesadaran Generasi Muda Lawan Disinformasi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Misinformasi dan disinformasi masih menjadi momok menyesatkan di Indonesia. Berangkat dari situ, Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Development Policy Foundation (DPF) serta didukung oleh...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Misinformasi dan masih menjadi momok menyesatkan di Indonesia. Berangkat dari situ, Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Development Policy Foundation (DPF) serta didukung oleh Kementerian Luar Negeri Polandia, menggelar workshop bertajuk “Check Your Fact: Countering Disinformation in the Digital Age” di Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45), Jakarta, pada Jumat (17/1/2025).
Ini pun menjadi bagian dari program RealityCheck Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan bahaya disinformasi dan misinformasi, terutama pada isu-isu kebijakan luar negeri. RealityCheck diperkenalkan sebagai aplikasi dan situs web yang tengah dikembangkan untuk menjadi platform kuis instan terkait pengetahuan umum mengenai isu internasional.
Senior Fellow FPCI, Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema, membuka acara dengan menegaskan pentingnya program ini dalam membangun kesadaran publik. Menurut dia, maraknya disinformasi dengan berbagai bentuk di era digital membuat peningkatan kesadaran sangat krusial.
“Jadi sepertinya memang, program RealityCheck hadir untuk mencegah dan membongkar disinformasi serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pengembangannya,” ujarnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kedutaan Besar Polandia, Maciej Tumulec menekankan, bahwa kebohongan yang terus disebarkan dapat dianggap sebagai kebenaran oleh kelompok tertentu. Oleh sebab itu, Reality Check Indonesia soal kebijakan luar negeri sangat penting untuk dikembangkan.
Rektor UTA 45, Rajes Khana, menyatakan komitmennya untuk mendukung RealityCheck. Menurutnya, pentingnya mengangkat isu demokrasi sebagai bagian dari tujuan program ini. “Kami di UTA 45 mendukung penuh program ini karena berada di tengah krisis kepemimpinan dan disinformasi. Inisiatif dan DPF menciptakan alat untuk melawan hoaks merupakan langkah konstruktif menghadapi tantangan tersebut,” tuturnya.
Dalam sesi Lunch with Journalist, Republika mempertanyakaan perbedaan RealityCheck dengan program lain. Ketua DPF, Wotjek Szpociński pun menegaskan bahwa, “Konteks yang RealityCheck bahas itu terfokus dengan masalah internasional dari berbagai wilayah dan tidak hanya fokus dalam sektor tertentu.”
Sementara itu, Andi Widjajanto, Penasehat Senior Laboratorium Indonesia 2045, hadir sebagai pembicara utama. Ia menyoroti pentingnya memahami motif di balik penyebaran disinformasi.
“Jika kita ingin memahami hoaks, misinformasi, atau propaganda, kita harus memahami tujuan di baliknya,” ujar Andi.
Ia juga menekankan bahwa setiap individu memiliki bias politik atau ekonomi yang memengaruhi pilihan sumber informasi mereka. “Menjadi pemeriksa fakta bukan tentang regulasi, institusi, anggaran, atau teknologi. Ini tentang Anda,” tegasnya.
Saat menjawab pertanyaan mahasiswa UTA 45 terkait cara menghadapi disinformasi, Andi mendorong generasi muda untuk memperkaya literasi digital dan membangun kemampuan fact-checking yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Sesi diskusi diakhiri dengan optimisme bahwa keterlibatan aktif generasi muda akan memperkuat kemampuan bangsa dalam melawan ancaman disinformasi di era digital yang terus berkembang.