Gilang Dalu, Koordinator BEM Malang Raya

Gilang Dalu, Koordinator BEM Malang Raya. ????Renovasi Stadion Kanjuruhan dengan anggaran fantastis sebesar Rp357 miliar kini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp

Gilang Dalu, Koordinator BEM Malang Raya

Malang (berirajatim.com) – Renovasi Stadion Kanjuruhan dengan anggaran fantastis sebesar Rp357 miliar kini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Terutama di tengah ketidakpastian pemenuhan hak-hak korban tragedi Kanjuruhan 2022.

Menjelang peresmian stadion oleh Presiden Prabowo Subianto, anggaran renovasi yang sangat besar ini justru dipandang sebagai pemborosan uang rakyat yang tidak memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Di sisi lain, anggaran untuk restitusi keluarga korban tragedi Kanjuruhan justru sangat minim, hanya sebesar Rp1,02 miliar.

Gilang Dalu, Koordinator BEM Malang Raya, mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan anggaran renovasi stadion yang dinilai tidak proporsional. Renovasi stadion ini lebih terlihat seperti pemborosan uang rakyat.

“Alokasi itu seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak. Masyarakat sudah lelah dengan proyek-proyek yang lebih mengejar pencitraan ketimbang memberikan manfaat nyata,” tegas Gilang, Sabtu (18/1/2025) pada beritajatim.com.

Kritik terhadap proyek ini semakin menguat setelah temuan audit independen yang mengungkapkan sejumlah ketidaksesuaian dalam penggunaan dana. Pengadaan material yang meragukan dan keterlambatan pembayaran kepada tenaga kerja menjadi temuan yang menunjukkan rendahnya transparansi dalam pengelolaan proyek renovasi stadion.

Lebih memprihatinkan adalah rendahnya anggaran yang disiapkan untuk restitusi keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Hanya sebesar Rp1,02 miliar yang dialokasikan, sebuah jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran renovasi stadion.

Haris Maulana, Koordinator Kontras wilayah Jawa Timur, mengungkapkan keprihatinannya. “Tidak ada harga yang dapat menggantikan nyawa, namun dengan anggaran yang sangat minim ini, jelas menunjukkan bahwa korban tidak mendapat perhatian yang semestinya,” ujar Haris.

BEM Malang Raya menuntut pemerintah, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), membuka secara rinci penggunaan anggaran renovasi stadion yang mencapai Rp357 miliar. Mereka mendesak dilakukan audit independen yang menyeluruh terhadap seluruh tahapan proyek renovasi, termasuk pengadaan material dan pembayaran kepada pihak yang terlibat.

Audit ini diharapkan dapat memastikan bahwa dana yang digunakan tidak diselewengkan. Selain itu, BEM Malang Raya juga menuntut agar anggaran yang lebih besar dialokasikan untuk penyelesaian hak-hak korban tragedi Kanjuruhan, yang hingga kini belum mendapat perhatian yang layak.

“Penyelesaian hak-hak korban harus menjadi prioritas utama,” tambah Gilang Dalu.

Keberadaan stadion lain dengan biaya lebih rendah namun lebih modern dan efisien semakin mempertegas ketidakadilan ini. Misalnya, Stadion Manahan di Solo yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp300 miliar, sudah dilengkapi fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan Stadion Kanjuruhan.

Bahkan Stadion Gelora Bung Tomo di Surabaya, yang dibangun dengan anggaran serupa, sudah memiliki fasilitas yang jauh lebih ramah pengunjung. Dengan anggaran yang cukup besar untuk membangun stadion baru, renovasi Stadion Kanjuruhan justru lebih terkesan sebagai simbol pemborosan dan ketidakadilan.

Pemerintah, menurut Gilang Dalu, seharusnya lebih fokus pada penyelesaian hak-hak korban tragedi Kanjuruhan dan memastikan transparansi anggaran, bukan sekadar mengejar citra melalui proyek yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

“Pemerintah harus memprioritaskan kemaslahatan rakyat, bukan memperkaya segelintir pihak. Stadion ini seharusnya menjadi sarana untuk masyarakat, bukan untuk kepentingan politik atau citra semata,” tegas Gilang Dalu.

Sudah saatnya anggaran yang diambil dari uang rakyat digunakan untuk tujuan yang lebih bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan dasar rakyat. Masyarakat tidak ingin lagi melihat pemborosan anggaran yang lebih banyak menguntungkan segelintir pihak, sementara hak korban tragedi Kanjuruhan yang seharusnya menjadi prioritas justru terabaikan. (dan/kun)